Welcome tO ippmassi ONLINE community
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


...Buat Basudara yang mau berbagi...
 
IndeksPortalGalleryLatest imagesPendaftaranLogin

 

 PUASA SEBAGAI PENGENDALIAN DIRI

Go down 
2 posters
PengirimMessage
Dheedy
Ranking 2 (4 Bintang)
Ranking 2 (4 Bintang)
Dheedy


Male
Jumlah posting : 251
Age : 42
Lokasi (KOTA-PROV) : Makassar (SUL_SEL)
Registration date : 23.01.08

PUASA SEBAGAI PENGENDALIAN DIRI Empty
PostSubyek: PUASA SEBAGAI PENGENDALIAN DIRI   PUASA SEBAGAI PENGENDALIAN DIRI Icon_minitimeFri Sep 12, 2008 1:54 am

Sudah terlalu sering bahkan mungkin bosan kita mendengarkan para penceramah dan khotib yang menfatwakan bahwa salah satu hikmah, dan tujuan, ‘ibadah puasa adalah pengendalian diri. Namun dalam konteks budaya, khususnya budaya Indonesia, hal tersebut tampaknya perlu dipertanyakan. Pertanyaan itu muncul tatkala kita melihat saat umat Islam (Indonesia) menghadapi Bulan Ramadhan, khususnya menjelang akhir Ramadhan, menyambut ‘Idul Fitri. Term pengendalian diri menjadi kabur, absurd.
Bulan Ramadhan sebagai salah satu bulan yang diwajibkan bagi seluruh umat Islam untuk melaksanakan ‘ibadah puasa (shaum) seharusnya menjadi salah satu bulan yang secara ekonomis, merupakan bulan terkecil dalam pengeluaran dana bagi kepentingan konsumtuif. Karena pada bulan tersebut, baik secara psikologis (spiritual) dituntut untuk mengendalikan diri dari sejumnlah kecenderungan konsumtif dan difokuskan pada kecenderungan pemenuhan kebutuhan spiritual, demikian juga secara material khususnya kebutuhan makanan menjadi semakin sedikit. Namun pada kenyataannya, pengeluaran keluarga bahkan nasional, ketika berhadapan dengan bulan yang satu ini betul-betul dibikin kalang-kabut. Lalu, apa yang salah?
Al-Qur’an menegaskan bahwa kewajiban berpuasa dimaksudkan supaya (mudah-mudahan) orang yang beriman bertaqwa. Istilah taqwa, selain diartikan takut kepada Allah juga sering pula diartikan sebagai mawas diri, hati-hati. Dalam proses mawas diri serta hati-hati bahkan memunculkan rasa “takut” kepada Allah tentunya memerlukan suatu keadaan diri untuk senantiasa mengendalikan diri. Mengendalikan diri untuk tidak terjebak dan masuk pada perbuatan-perbuatan, baik fisik maupun psikhis, yang akan menjerumuskannya pada apa dalam ajaran agama dilarang dan dianggap tercela.
Apa sesungguhnya sesuatu yang dianggap tercela oleh agama itu? Dalam memahami hal tersebut, orang biasanya lalu mengutif sejumlah ayat al-Qur’an atau Hadits. Dalam al-Qur’an bisa dipastikan ia hanya akan menemukan sejumlah “keterangan” yang lebih general sifatnya, dan dalam Hadits Nabi akan lebih rinci, dengan sejumlah contoh-contoh kasus yang terjadi pada masa Rasulullah. Setelah itu ia akan tercenung, dan selesai sampai di situ. Namun, selanjutnya, pernahkah kita bertanya-tanya tentang fenomena Ramadhan dan ‘Idul Fitri di Indonesia? Suatu fenomena yang demikian semarak, selain semarak dengan kegiatan-kegiatan “keagamaan”, juga semarak dengan kegiatan-kegiatan konsumtif. Sehingga bukan hanya masjid dan tempat pengkajian agama lainnya yang penuh dikunjungi orang, kita pun akan melihat kesibukan yang lebih besar di pasar-pasar, toko-toko dan tempat perbelanjaan lainnya dengan kesibukan yang lebih “semarak”.
Kita yakin bahwa fenomena tersebut bukan tidak luput dari perhatian kita sebagai fenomena yang berlebihan. Akan tetapi, kemudian kita bergumam dalam hati untuk “menjastifikasi” bahwa prilaku dan fenomena itu sebagai penghormatan terhadap bulan yang suci dan disucikan Allah. Barangkali hanya para Ulama yang bisa menjawabnya, atau barangkali sebenarnya nurani kita pun sesungguhnya bisa memberikan jawaban yang lebih jujur, bahwa fenomena itu terlalu berlebihan.
Penilaian kita terhadap fenomena tersebut akan bias, mengingat bahwa hal tersebut telah menjadi bagian dari sistem budaya masyarakat, bahkan nasional. Mungkin akan ada yang berargumen bahwa toch fenomena tersebut telah menyemarakan kehidupan pasar dan ekonomi nasional. Perputaran ekonomi berjalan menjadi lebih dinamis. Ungkapan atau argumen ini sesungguhnya hanya tepat bagi masyarakat yang secara ekonomi berada pada masyarakat kelas mengengah ke atas. Mereka akan mendapatkan sejumlah penghasilan yang lebih besar dalam moment tradisi Ramadhan dan ‘Idul Fitri tersebut. Sementara itu, bagi masyarakat berekonomi kelas menengah ke bawah penghasilan mereka dari percepatan perputaran ekonomi itu hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan salama masa ‘Idul Fitri saja, untuk sekedar bisa membeli beberapa potong pakaian baru yang alakadarnya, serta makan-makan makanan yang lebih instimewa dari biasanya. Setelah itu, mereka menjalani kehidupan biasa kembali, bahkan bukan hal yang tidak mungkin mereka mengalami kejatuhan secara ekonomi.
Dengan demikian, tepat apa yang diungkap salah satu Hadits Nabi, bahwa terdapat banyak orang yang melaksanakan puasa dan mereka hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga belaka. Mereka tidak mendapatkan hikmah dari puasa itu sendiri secara sempurna, yaitu ketaqwaan.
Kini, Bulan Ramadhan telah menunggu di dadapan kita, tidak lama lagi. Sementara itu keadaan bangsa Indonesia, secara menyeluruh baik ekonomi maupun politik, bahkan mental sedang mengalami krisis yang tidak bisa dipandang enteng. Bila budaya umat Islam dalam menghadapai Bulan Ramadhan dan ‘Idul Fitri ini tetap dipertahankan, dengan dalih apa pun, sangat sulit untuk dibayangkan apa yang akan terjadi dengan umat Islam yang mayoritas ini. Bahkan sebenarnya bisa diduga, bahwa dampaknya akan menyeluruh, bukan hanya menimpa umat Islam saja, akan tetapi juga umat-umat lainnya. Mengingat, Bulan Ramadhan ini tidak terlalu jauh dari momen tahun baru dan hari Natal. Lebih luas lagi akan memperparah kondisi sosial-ekonomi-politik nasional.
Mungkin dugaan-dugaan itu terlalu diperbesar dan mengada-ada. Tapi bila kita ingat setahun yang lalu, awal terjadinya krisis moneter yang terjadi menjelang Bulan Ramadhan, krisis tersebut telah menjadi semakin parah ketika sejumlah keperluan masyarakat menjelang ‘Idul Fitri tidak terpenuhi karena sejumlah kebutuhan pokok (sembako) lenyap dari pasar. Maka, krisis ekonomi menjadi semakin parah.
Kembali pada persoalan, bahwa selama ini fungsi dan tujuan atau hikmah puasa sebagai pengendali diri ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tujuan-tujuan religius terlindas oleh tradisi yang telah berlangsung sekian lama. Sebenarnya, bila kita melihat esensi dan “wujud bangun” dari ‘ibadah puasa di Bulan Ramadhan sangatlah unik. Di dalam pelaksanaan ‘ibadah puasa pada Bulan Ramadhan, terdapat sejumlah aktivitas ‘ibadah, seperti shalat sunat tarawih, tadarusan atau pembacaan ayat suci al-Qur’an, ‘itikap, peringatan Nuzul al-Qur’an, serta diakhiri dengan pengeluaran Zakat Fitrah dan shalat sunat ‘Idul Fitri. Tampak bahwa tidak ada satu pun kegiatan yang memestikan umat Islam mengeluarkan sejumlah dana besar dalam melaksanakan aktivitas ‘ibadah puasa tersebut. Pengeluaran dana hanya dilakukan sekali dengan jumlah yang tidak terlalu besar, yaitu pengeluaran zakat fitrah. Dan penghornatan terhadap bulan Ramadhan bukannya harus dilakukan dengan meningkatkan pola hidup dalam berpakaian dan makan-makan, akan tetapi dengan meningkatkan derajat keimanan dan kualitas serta kuantitas ‘ibadah kita kepada Allah.
Kesucian atau fitrah, dalam pengertian bahwa setelah melaksanakan ibada puasa dengan berbagai aktifitasnya, diharapkan ia akan kembali pada kesucian atau fitrahnya, menjadi sekedar kata-kata yang meluncur sebagai basa basi ketika saling bersalaman di hari Raya ‘Idul Fitri atau dalam kartu-kartu ucapan selamat Hari Raya ‘Idul Fitri. Atau lebih unik lagi, kesucian itu beralih pada kesucian atau fitrah (dalam arti “baru”) dan busana yang dikenakannya. Dengan demikian tujuan pelaksanaan ibadah ini, beralih dari kesucian bathin ke sucian penampilan jasmaniah. Kita sering lebih malu tidak berpakaian baru, tapi kita sering “apriori” dengan ‘ibadah yang kita lakukan selama bula Ramadhan. Sepertinya tidak ada sedikit pun rasa malu, apa lagi rasa takut kepada Allah. Kita sudah merasa cukup dengan apa yang telah kita lakukan selama Bulan Ramadhan, tanpa merasa perlu untuk mengkaji ulang dengan semuanya itu, apakah kita mencapai tujuan atau hikmah pelaksanaan ‘ibadah puasa itu ata tidak?

Wallahu’alam
Kembali Ke Atas Go down
http://www.labholonk.co.cc
Maakaidio
Ranking 6 (0 Bintang)
Ranking 6 (0 Bintang)



Male
Jumlah posting : 12
Age : 38
Lokasi (KOTA-PROV) : ambon
Registration date : 08.04.09

PUASA SEBAGAI PENGENDALIAN DIRI Empty
PostSubyek: Re: PUASA SEBAGAI PENGENDALIAN DIRI   PUASA SEBAGAI PENGENDALIAN DIRI Icon_minitimeMon Apr 13, 2009 2:42 pm

pengendalian diri dlam segi mana....krena realita yg ada,orang yg berpuasa tdk dapat mengendalikan dirinya,,,,,,,,,,,
Kembali Ke Atas Go down
 
PUASA SEBAGAI PENGENDALIAN DIRI
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» SEBAGAI WARGA FORUM YANG BAIK HARUS PERKENALKAN DIRI DOLO
» SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA
» PENGUNDURAN DIRI KETUA BASISDA
» Selamat Menunaikan Ibadah Puasa
» PONSEL AKAN DIGUNAKAN SEBAGAI BOARDING PASS

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Welcome tO ippmassi ONLINE community :: FORUM DISKUSI :: Islam Explorer-
Navigasi: