Perasaan Yang Terasing

Perasaan Yang Terasing

Beberapa hari terakhir ini hatiku galau, gelisah, dan boleh dikata terasing. Pada beberapa pengujung malam, kelopak mata ini sulit terpejam meski larut mendekati pagi dan sang surya tak lama lagi keluar dari peraduannya, tanda hari baru telah tiba.

Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa guna semua yang dilakukan. Saya mengkritik hal yang saya anggap tidak benar. Makin lama, makin bertambah “musuh” saya (sahabat-sahabat saya sendiri), dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa yang sebenarnya saya lakukan?

Saya ingin ungkapkan ketidak-benaran yang menurut saya memang tidak benar. Tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik itu? Apa ini semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.

Mereka (sahabat-sahabat saya) tadinya bersamaku dalam barisan yang sama, setuju untuk “melawan ketidak-benaran”. Mereka sendiri mengungkapkan adanya ketidak-benaran itu dari mulut mereka sendiri, dari hati mereka sendiri. Non from my mouth, also non from my liver.

Perlahan-lahan barisan solid itu “bubarkan” diri dan memilih posisi aman. Aneh, itu sama dengan munafik pada nurani sendiri. Kasihan memang, ludah yang dibuang dijilat kembali. Mulut dan mungkin juga hati sudah dibungkam oleh perasaan lain yang tidak saya ketahui. Tapi saya harus relakan semua itu. Biar.... biarlah...., karena itu pilihan dan hak mereka menentukan langkahnya sendiri.

Tapi semua yang terjadi lantas membuat saya cemas menghadapi masa depan. Gairah, senang, tapi di lain pihak pandanganku menjadi skeptis dan pesimis melihat senyuman manis orang-orang terdekatku. Makin lama bergumul, mendalami kedalaman hati mereka, justru membuat hatiku semakin jauh, skeptis terhadap apapun.

Bicara soal idealisme ternyata hanya pemanis bibir. Sama dengan gencu merah yang menempel di bibir perempuan pelacur di pinggiran jalan kota. Saya besar dan dibesarkan oleh orang-orang yang mengagungkan idealisme sebagai alas prinsip. Tapi kini, justru mereka menjadi munafik pada prinsip itu dengan membiarkan ketidak-benaran berlangsung di depan mata. Benar-benar telah mengkhianati hati nurani. Lama-kelamaan, orang-orang yang tadinya menjadi orang-orang pilihanku itu sama saja dengan kelompok pragmatisme lainnya. Tidak ada bedanya.

Tapi saya harus bangkit mengatasi kebekuan pikiranku yang mencekam terhadap situasi perasaan ini. Saya harus keluar dari kejenuhan hati yang membuatku sulit tidur dalam beberapa malam ini.

Minggu-minggu ini adalah hari-hari berat untuk saya, karena saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Karena yang saya kritik adalah kebenaran dan kejujuran. Just That. Tidak lebih, apalagi dilebih-lebihkan.

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan!” (Mengutip tokoh revolusioner Indonesia yang mati muda, Soe Hok Gie).

This life not without effect and I have to continue step to stand at bay life! Rasanya saya harus naik ke puncak gunung Salahutu untuk melepas kepenatan ini...


Yang lagi gelisah, Blasteran Elhau
Kamis 29 Juni 2006 – (Pukul 13.41 Wit)