Pilkada dan Peran Media Massa
Oleh : Syarafudin Pattisahusiwa
Bila ada penggunaan rating (peringkat) untuk menetapkan isu apa yang kini laris manis di publik Maluku, mungkin isu pilkada akan menempati posisi paling atas. Tak heran bila publik kita seakan tersedot dengan isu yang satu ini, sampai-sampai diskusi kecil pun kerap ditemui diamana saja. Siapa yang memuilai semua itu? tentu jawabannya adalah pers. Karena pers mampu mengatur irama isu, mulai dari isu korupsi, sosial hingga politik jelang pilkada di daerah ini. Simak saja cerita yang direkam Tabaos di bawah ini.
SUATU hari di sebuah kafe di kota Ambon, obrolan lepas sekelompok pemuda yang dimulai dengan spontan mendadak menuai keributan. Usut punya usut, ternyata kelompok itu sedang berdiskusi kecil seputar topik politik, menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tak lama lagi akan digelar di daerah ini. Tapi kemudian jadi kacau lantaran diskusi ala rumah kopi itu tidak terkontrol.
Seseorang, sebut saja Lobo, yang berada di kerumunan diskusi itu menyampaikan pendapatnya soal figur-figur yang namanya mulai ramai dipublikasikan jelang pesta demokrasi.
Lobo rupaya memiliki referensi yang cukup. Dia berhasil menarik perhatian rekan –rekannya dengan memberikan gambaran sekaligus prediksinya atas figur-figur tersebut berdasarkan isi kepalnya.
Dalam ulasannya yang begitu panjang lebar, tiba-tiba ada suara protes yang disampaikan salah satu temannya, Busok. Tatkalah, Lobo mulai mengupas kelemahan –kelemahan beberapa figur menurut versinya, Busok yang berada didekatnya, langsung bersuara. Kritik temannya itu juga diselingi dengan suara –suara lain yang berada di kerumunan itu.
Busok tidak setuju dengan pandangan Lobo yang menurutnya hanya berupa opini yang selama ini dihembuskan sejumlah koran (media cetak). “Yang ale bilang itu, katong su baca di koran-koran. Tapi supaya ale tahu, koran-koran di Ambon ini seng bisa dipegang, dong juga pung kepentingan. Sehingga apa yang dong tulis kebanyakan hanya opini” bantahnya dengan suara berdialeg Ambon. Protes itu juga mendapat respon dari beberapa temannya, yang rupanya sependapat dengannya.
Tak mau kalah, Lobo ikut ‘panas’ lantas menantang dengan perkataan.
“Koran mana di dunia ini yang seng pung kepentingan tamang?. Beta rasa ale keliru, karena apa yang dong tulis selama ini memang fakta yang dong dapat, terlepas dari dong pung tujuan lain, tapi beta kira apa yang dong biking wajar. Bila kemudian ada yang seng batul, itu bukan urusan dorong, karena politik itu memang bagitu, satu menit saja bisa berubah,”jawab Lobo membalas.
Rautnya yang tampak belum puas dengan sikap temannya itu, kemudian berusaha menguraikan panjang lebar akan pentingnya keberadaan media massa. Dengan sedikit menggurui, Lobo paham betul peran media massa dalam sebuah momen. Bahwa, semua apa yang diketahui publik saat ini, baik itu masalah pilkada maupun masalah lainnya tak bisa dipungkiri merupakan jasa dari pers yang secara tidak langsung telah memberikan efek komunikasi yang luar biasa. “Coba katong bayangkan saja, bagaimana kalau di daerah ini seng ada koran, TV dan Radio. Apa yang akan katong tahu tentang dunia ini. Bisa-bisa Pak Harto yang sakarang saki di Jakrata saja katong seng tahu. Jadi samua itu su batul, seng ada yang salah,”ucapnya.
Ketegangan kecil yang terjadi antara Lobo dan Busok itu, mungkin hanya merupakan sepenggal cerita yang terjadi di daerah ini. Setidaknya, apa yang menghangat dalam cerita diatas bukan hal yang mustahil terjadi, bila kita melihat perkembangan pemberitaan media, terutama media cetak belakangan ini. Isu politik jelang pilkada Maluku, merupakan satu-satunya isu yang paling menyedot perhatian publik di daerah ini. Hampir semua kalangan publik, seakan kenyang dengan isu suksesi kepemimpinan di Maluku. Sebagian besar tempat pun didominiasi dengan diskusi-diskusi kecil terkait masalah ini.
Bila kita runut ke belakang, fenomena serupa juga terjadi pada masa pilkada-pilkada sebelumnya di beberapa kabupaten.
Lewat media, tokoh yang awalnya diidolakan publik, bisa terpental popularitasnya akibat sejumlah dosa yang dibuat mendadak diuber dan dibeber. Ada juga figur karbitan yang kemudian meroket namanya, lantaran talentanya memainkan peran media massa.
Itulah pers, dia begitu dominan memainkan fungsinya dengan memasang mata dan telinga dalam sebagai watchdog, yang selalu kritis terhadap segala urusan publik.
Rupanya ucapan pemikir sekaligus bapak bangsa Amerika Serikat, Thomas Jefferson yang seringkali muncul bahwa: "…Jika saya harus memilih antara pemerintahan tanpa suratkabar, atau suratkabar tanpa pemerintahan, maka saya tidak akan berpikir panjang untuk memilih yang terakhir."
Pernyataan dari presiden ke-3 as ini (1801-1809) yang bermaksud bahwa pers adalah salah satu pilar penting dalam sebuah negara yang berlandaskan demokrasi, merupakan bukti nyata atas pengakuan peran pers itu.
Perkembangan ulasan media seputar pilkada ini juga sempat menuai tanggapan positif dari mantan wartawan Media Indonesia Drs. Darul Kutni Tuhepaly. Dalam bincang-bincang dengan Tabaos, Tuhepaly yang kini menapak karier di dunia politik itu mengakui, keberadaan pers Maluku saat ini telah memberikan warna yang tersendiri atas perubahan demokrasi yang cukup signifikan.
Satu sisi yang paling menonjol adalah, pers mampu memberikan input yang luar biasa atas keberadaan para kandidiat kepada publik. Meski sesekali terlihat agak keras isu yang disajikan, namun telah memberikan sebuah perubahan berupa pendidikan politik kepada masyarakat dari berbagai lapisan.
“Kecil kemungkinan pers Maluku memiliki kepentingan dalam sebuah event politik, pers kekinian malah ibrat ‘lilin’ : hanya bisa memberikan penerangan kepada publik, namun apa yang didapatkan tidak sebanding dengan apa yang diharapkan,”ulasnya.
Bukan hanya Tuhepaly, dalam sebuah kesempatan wawancara yang dilakukan beberapa teman dengan Sekretaris Koorwil Golkar Maluku- Maluku Utara Edison Betaubun di Ambon terkait Pilkada Maluku, kader partai berlambang pohon beringin ini juga secara tidak langsung sempat mengakui pers Maluku telah memainkan peran yang begitu besar.
Ucapan Betubun ini diutaran tak kala salah satu teman mengajukan sebuah pertanyaan yang berisi kemampuan partainya menghadang salah satu figur di luar Partai Golkar yang dinilai sangat populer di publik. Betaubun yang saat itu berapi-api membantah penilaian itu dengan mangatakan, itu hanya opini yang dibentuk oleh pers. “Itu kan kerja anda-anda (wartawan) sehingga terbentuk opini bahwa figur tertentu pasti menang dalam pertarungan nanti,”kantaya.
Pengakuan kalangan politikus ini memang bukan merupakan hal yang baru terjadi. Peran pers memang sangat besar, sejak pers itu lahir. Banyak cerita sejarah di dunia yang menempatkan pers sebagai alat yang cukup manjur memainkan perannya untuk sebuah tujuan. Bahkan jauh lebih dahsyat dari keributan kecil yang terjadi dalam diskusi antara Lobo dan Busok di atas. Inilah dinamika kebebesan pers yang terjadi dalam dunia reformasi kita, suka atau tidak pers yang bebas telah membuat perubahan yang begitu menjanjikan, termasuk isu demokrasi lokal yang akan dihelat di daerah ini.
Tapi apapun peran pers, keberadaannya selalu disalahkan. Sangat tepat penyair Taufiq Ismail yang menulis puisi yang hanya terdiri dari satu baris yang berbunyi: “Buruk muka pers dibelah”. Sang penyair ini mengakui pers memang selalu di-kambinghitam-kan. Semoga pers Maluku tetap mengambil peran penting dalam mengisi pembangunan di daerah ini.