Minyak Kayu Putih Asal Buru
Dari Lahan Kering ke Kulit Mulus
Puluhan botol berbagai ukuran dan jenis di pajang apik di atas meja receptionis Hotel Grand Sarah, Namlea, Kabupaten Buru. Botol-botol berisikan minyak kayu putih tanpa merek sengaja dipajang untuk tamu yang hendak menjadikannya sebagai buah tangan.
Manager Hotel Grand Sarah Fauzi Attamimi di Namlea mengatakan, pengunjung yang datang ke Buru biasanya membawa pulang minyak kayu putih dalam botol sebagai buah tangan. Sebagai salah satu penghasil minyak kayu putih dengan kualitas baik, pohon kayu putih bisa ditemui cukup banyak di hutan-hutan di Pulau Buru, khususnya di Kecamatan Namlea, Waplau, dan Waeapo.
“Ini minyak kayu putih asli. Kebetulan salah satu karyawan saya punya ketel (tempat penyulingan minyak kayu putih) di kampungnya, dan hasilnya dijual di hotel kami,” kata Fauzi.
Jika minyak kayu putih yang kita dapati di daerah lain sudah berlebel, di Namlea, kebanyakan minyak kayu putih yang dijual tidak berlebel atau bermerek tertentu. Kemasannya dari botol bekas. Harga pun variatif tergantung ukuran botol yang menjadi wadahnya. Paling murah Rp.40 ribu, dan paling mahal hingga Rp.80 ribu.
“Kebanyakan orang yang mengunjungi Pulau Buru menjadikan minyak kayu putih sebagai oleh-oleh,” ujar Fauzi.
Di Buru, warga di sana memiliki cara tertentu untuk mengetahui kadar dari kandungan minyak kayu putih. Anto Rada (33), warga Namlea mengatakan, orang Buru memiliki cara menakar kadar kemurnian minyak kayu putih. Ada yang mengocok botolnya dan melihat reaksi busanya. Ada juga yang membuka dan menaruh matanya tepat di mulut botol untuk mengetahui tingkat kepedasannya.
Selain diidentikan sebagai penghasil minyak kayu putih tradisionalnya, Pulau Buru yang berada di sebelah timur Pulau Ambon itu semasa pemerintahan Orde Baru dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik. Salah seorang yang pernah menjadi tahanan politik di salah satu pulau Provinsi Maluku ini adalah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang banyak menghasilkan karya bercirikan realisme sosial. Beberapa novel terkenalnya bahkan ditulis selama masa pembuangan yakni Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah. Keempat novelnya ini dikenal sebagai Tetralogi Buru.
Untuk mencapai Buru, dari Kota Ambon, kita bisa menumpangi kapal cepat ke pelabuhan Namlea, dengan waktu tempuh sekitar tiga jam. Tidak jauh dari pelabuhan itu terlihat lahan-lahan tandus berbukit, juga savana yang dipenuhi ilalang dan pohon-pohon kayu putih yang dipangkas kerdil. Nyaris tidak ada tumbuhan lain yang tumbuh selain pohon miyak kayu putih.
Minyak kayu putih yang berasal dari jenis pohon Melaleuca leucadendron atau Melaleuca cajuputi itu banyak tumbuh liar di Buru. Iklim Buru yang panas dan rendah curah hujannya membuat pohon ini mampu tumbuh subur di daerah ini. Memang, pohon yang menghasilkan rendemen minyak kayu putih yang tinggi umumnya berasal dari daerah kering.
Minyak kayu putih produk Buru disebut-sebut punya kualitas bagus dibandingkan yang tumbuh di daerah lain. Dari hasil penelitian minyak kayu putih unggul oleh Pusat Penelitian dan Pengambangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan-P3BPTH (Center for Research and Development of Biotechnology and Forest Tree Improvement) di Yogya, berbagai jenis kayu putih unggul dikoleksi dari berbagai provenance di Maluku (Buru), Papua dan Australia. Keunggulan kayu putih ini memiliki kandungan cineol 65 persen dan rendemennya bisa mencapai 2,05 persen. Sebagai perbandingan, kayu putih di Jawa memiliki kandungan Cineol 50 – 60 persen dengan rendemen rata-rata 0,8 – 1 persen.
Namun sayangnya, nasib para penyuling kayu putih tidak sebaik minyak kayu putih hasil olahannya yang banyak diburu orang. Penyuling minyak kayu putih di Buru sangat tergantung pada pedagang perantara yang memiliki modal dan kekuasaan yang dapat mendikte harga jual. Pedagang perantara mendapat keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kerja keras penyuling-penyuling tradisional. Pedagang yang memiliki modal kemudian membeli peralatan penyuling, dan disewakan kepada penyuling.
Hingga saat ini tanaman kayu putih di Buru tidak dibudidayakan secara khusus. Tumbuhan ini hidup alami di hutan atau lahan milik penduduk. Total lahan pohon kayu putih diperkirakan lebih dari 120.000 hektar dengan kisaran kerapatan 100-160 pohon per hektar. Pada lokasi-lokasi yang daun kayu putihnya dipanen intensif, tinggi pohon hanya sekitar 1-2 meter. Pada lokasi yang kurang terjamah pemanen, pohon bisa mencapai ketinggian 10-25 meter.
Pengolahan daun kayu putih menjadi minyak oleh penduduk setempat masih menggunakan teknik penyulingan sederhana dan biasanya dilakukan langsung di lokasi pohon. Rata-rata setiap ketel (tungku) penyulingan, dikelola oleh dua atau tiga keluarga secara bergiliran dengan sistem bagi hasil. Ada juga yang bekerja di ketel dan hutan kayu putih milik orang lain. Selain masyarakat pribumi, penyulingan minyak kayu putih juga dikerjakan warga pendatang yang sudah menetap di Buru. Kebanyakan mereka berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara.
Banyak tempat penyulingan minyak kayu putih yang oleh masyarakat setempat disebut “ketel”, terdiri dari bangunan sangat sederhana. Hanya beratapkan daun rumbia, berdinding kayu dan beralaskan tanah. Tidak ada kemewahan di sana. Di ketel, para pekerjanya membagi tugas untuk bekerja. Ada yang memetik daun kayu putih, menyuling kayu putih, dan juga sebagai koki yang memasak makanan buat pekerja di dapur yang tersedia di ketel. Masing-masing orang bekerja sesuai pembagian tugasnya.
La Kara (30), adalah salah satu penyuling minyak kayu putih yang bersama 13 rekannya sehari-hari bekerja di ketel yang yang berlokasi di Gunung Kersen, Kecamatan Namlea. Meskipun rumahnya di Desa Karang Jaya yang berada tidak jauh dari lokasi ketel atau hanya sekitar empat kilometer, namun Kara kerap menghabiskan waktu berhari-hari di tempatnya bekerja.
“Saya bertugas membakar kayu di tungku untuk penyulingan dan menggantikan daun kayu putih yang sudah dan mau dimasak. Api tungku harus terus bernyala dan pekerjaannya berjam-jam, bahkan bisa dari pagi sampai pagi hari lagi,” katanya.
Pria beranak tiga ini nyaris bekerja sepanjang waktu untuk menjaga api tungku tetap menyala. Tidak sedikit ia terpaksa tidur di tempat kerjanya dan sesekali waktu menyempatkan diri menjenguk anak-istrinya di rumah. “Biasanya saya tidur di sini (ketel),” ujarnya.
Sebagai penyuling minyak kayu putih, Kara bersama rekan-rekannya bekerja pada seorang pedagang keturunan Tionghoa bernama Fery Tanaya. Sebagai juragan, Fery menyiapkan peralatan penyulingan dan lima hektar lahan tanaman kayu putih miliknya yang setiap hari menyediakan bahan baku untuk penyulingan.
Hasil dari penyulingan, setiap harinya ketel mereka mampu menghasilkan enam hingga delapan kilogram minyak kayu putih murni. Itu pun tergantung banyaknya daun yang akan dimasak buat penyulingan. Pada saat-saat tertentu seperti musim kemarau, banyak lahan kayu putih yang terbakar membuat usaha ini tiarap sebentar untuk beberapa waktu.
Pekerjaan mereka menggunakan sistem borongan. Misalnya, jika lahan 1 hektar menghasilkan 300 kilogram minyak kayu putih, 200 kilogram menjadi milik pedagang dan 100 kilogram sisanya milik pekerja yang akan dibagi rata. Uang hasil penjualan hasil yang juga dijual ke juragan mereka juga dipakai selain buat upah kerja, dipotong pula harga kayu bakar buat tungku dan harga makan yang biasanya mereka pinjam dari juragan.
“Kalau dari 1 hektar kita dapat satu ton minyak kayu putih, biasanya dibagi rata dengan pekerja lainnya dan untuk lima bulan kerja kami biasanya peroleh Rp.3 juta per orang. Itu juga tergantung hasil penyulingan karena biasanya hanya Rp.2 juta untuk lima bulan kerja,” ungkap Kara.
Menutupi kekurangan di sana-sini untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sekolah anak-anaknya, Kara terpaksa menghutang uang di juragannya, Rp.100 ribu hingga Rp.200 ribu sebulan. “Rasa-rasanya kalau ada kerja lain, saya akan berhenti kerja di ketel karena tidak bisa harap banyak. Berat membiyai sekolah anak-anak saya. Baru di SD saja sudah terasa berat,” ungkapnya.
La Kara adalah salah satu potret penyuling minyak kayu putih di Pulau Buru yang bernasib tidak begitu baik. Upah yang diperoleh dari pekerjaannya tidak semulus hasilnya tangannya yang diminati banyak orang karena dipercaya berkhasiat mengobati sejumlah penyakit seperti reumatik, radang usus, diare, radang kulit, demam, dan flu.
Dengan upah tidak seberapa, Kara bersama rekan-rekannya kadang dibuat khawatir jika datang musim kemarau panjang. Seringkali terjadi kebakaran hutan kayu putih membuat pekerjaan mereka terpaksa terhenti untuk sementara waktu. Berdasarkan catatan Dinas Kehutanan Kabupaten Pulau Buru, sepanjang musim kemarau tahun 2006 lalu, lebih dari seribu hektar lahan kayu putih di Pulau Buru hangus terbakar. (blasteran elhau)