Saudaraku yang dimuliakan Allah, jika anda ingin makan karena lapar, cukupkan anda berdiam sambil menunggu ada orang yang datang membawakan makanan? Jika anda ingin memiliki penghasilan yang baik, cukupkah anda duduk di rumah menunggu ada orang yang datang membawakan pekerjaan? Jawabnya tentu tidak! Padahal anda yakin Allah Maha Pemberi rezki.
Kesimpulannya, jika anda ingin makan, maka anda akan tergerak untuk bangkit mencari jalan agar anda mendapatkan makanan, begitu pula jika anda ingin mendapatkan penghasilan. Itulah bedanya antara mau dan kemauan. Sekedar ingin makan berarti anda baru sampai pada tahap “mau”, dan itu tidak berarti apa-apa, dia baru akan bermanfaat jika “mau”-nya berubah menjadi “kemauan” yang berbentuk tindakan nyata untuk mewujudkannya.
Namun yang disayangkan – saudaraku -, “kemauan” tersebut baru kita miliki pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti contoh di atas. Adapun hal-hal yang bersifat ukhrowi, sering “kemauan” kita hanya sebatas “mau” saja.
Jika ditanya kepada kaum muslimin, apakah mereka ingin menjadi orang shaleh? Maka semuanya akan menjawab: “Ya”. Namun banyak yang hanya sampai disitu, selebihnya tidak ada tindakan nyata yang dia lakukan untuk mewujudkannya. Dirinya tidak bergerak untuk menempuh sarana atau jalan yang dapat mengantarkan kesana. Pengajian tidak dihadiri, al-Qur’an dan buku-buku Islami tidak pernah dibaca, teman-teman yang shaleh justru dia benci.
Bahkan sebaliknya, jalan-jalan keburukanlah yang dia tempuh. Perkumpulan gosip menjadi hobinya, lagu dan musik menjadi temannya, tontonan dan bacaan porno selalu dicarinya dan berbagai bentuk kegiatan rusak, dialah pelanggannya.
Jika demikian halnya, akankah keinginan seorang muslim untuk menjadi orang saleh akan terwujud? Kata seorang penyair:
Anda ingin selamat, namun tidak anda tempuh jalannya Sesungguhnya perahu tidak berjalan di daratan.
Orang yang sekedar “mau” umumnya bersifat pasif, mencari waktu luang, menunggu peluang, minta dipahami, dst. Sementara orang yang punya “kemauan”, umumnya bersifat aktif, meluangkan waktu, mencari peluang, berusaha memahami dan seterusnya.
Pada masa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, orang-orang munafik yang tidak ikut perang Tabuk mencari-cari alasan mengapa mereka tidak ikut perang, seolah-olah mereka juga sebenarnya ingin ikut berperang, namun Allah Ta’ala membantah argumen mereka:
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu” (QS At-Taubah: 46)
Saudaraku…
Sejak sekarang, rubahlah “MAU” kita menjadi “KEMAUAN”, dari kemauan menjadi tekad yang kuat untuk menjadi lebih baik.
Diambil dari buku Nasehat dari Hati ke Hati, Abdullah Haidir