Civilianisme Vs CapitalismeInvestasi berskala besar dan butuh modal besar, selalu dianggap sebagai solusi pembangunan karena bisa memberi manfaat ekonomi dan sosial yang signifikan. Tetapi, apakah benar slogan itu? Lantas, manfaat dan keuntungan dari investasi itu buat siapa?
Kenyataannya, pembangunan dengan investasi besar justru menciptakan ketidakadilan, ketidakstabilan, kemiskinan, kehancuran alam, dan kemelaratan bagi sebagian besar rakyat kita. Kenyataan ini tentu saja kontradiktif dengan slogan pembangunan, terutama penciptaan masyarakat yang adil dan makmur.
Di sejumlah tempat di Indonesia, pembangunan selalu identik dengan penggusuran, pengambilalihan hak, bahkan penindasan. Pembangunan tanpa memperdulikan aspek society sering memicu konflik. Perlawanan rakyat melawan pemodal, hingga perlawanan rakyat melawan negara.
Berbagai proyek pembangunan dengan masuknya kekuatan kapitalis telah menegasikan dan menghancurkan hak-hak masyarakat adat. Sebagian besar masyarakat adat kita yang identik dengan stereotip bodoh, miskin, tertinggal, primitif, tak berdaya ketika haknya dirampas begitu saja.
Pengambilalihan hak masyarakat atas hutan, tanah, dan air oleh negara guna kepentingan pemodal hanya karena alasan pembangunan, kemudian memicu berbagai konflik atas sumberdaya alam di sejumlah daerah. Konflik antara komunitas masyarakat dengan perusahaan tambang, perusahaan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH), perusahaan Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), perusahaan perkebunan, bahkan masyarakat harus berhadap-hadapan dengan moncong senjata milik aparat.
Pada titik tertentu, prioritas pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi memang mendorong pemerintah menempuh cara-cara represif untuk menjaga roda pembangunan terus berjalan. Meskipun roda itu menggilas dan menyingkirkan hak-hak politik, hukum, sosial dan budaya milik masyarakat adat.
****
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam dan budaya yang banyak dan teramat unik, sehingga di sebut sebagai negara “
mega bio-diversity” (kedua setelah Brazil). Indonesia menyumbangkan lebih dari 10% tumbuh-tumbuhan di dunia, lebih dari 10.000 spesies pohon di dunia, dan sekitar 25.000 sampai 30.000 spesies tumbuhan berbunga.
Indonesia memiliki 42 ekosistem darat dan 5 ekosistem yang khas. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki 81.000 kilometer garis pantai. Luas ekosistem mangrove sekitar 22% dari seluruh luas mangrove di dunia. Hutan mangrove di Indonesia juga mempunyai keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Dari segi keaneka-ragaman zoology, Indonesia memiliki 17% seluruh spesies di dunia, 12% mamalia di dunia, 15% amphibi dan reptil, 17% burung, dan 37% ikan (
The Nature Conservancy, 2005)
Namun, pada saat yang sama terjadi pengrusakan lingkungan yang luar biasa dan mengancam keberlanjutannya di masa mendatang. Di sektor kehutanan misalnya, terjadi deforestasi yang meningkat dalam beberapa dekade. Sebagaimana dilaporkan Bank Dunia (2003) dan Departemen Kehutanan, tingkat deforestasi di Indonesia telah mencapai lebih dari dua juta hektar per tahun. Secara total, luas hutan kita mengalami pengurangan yang sangat signifikan.
Wilayah pantai dan laut kita juga terus mengalami kerusakan dan degradasi. Indonesia yang merupakan hot-spot terumbu karang di dunia, justru mengalami kerusakan yang sangat mengerikan. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa saat ini sekitar 41% terumbu karang kita dalam keadaan rusak parah, 29% rusak, 25% lumayan baik, dan tersisa 5% yang masih alami. Begitu juga kawasan mangrove atau hutan bakau, sekitar 50% hutan bakau telah hilang dan sebagiannya terancam rusak.
Kekayaan budaya dan adat-istiadat kita juga terancam punah. Selain arus modernisasi yang menyentak perilaku masyarakat kota sehingga tak mampu membendungnya, masyarakat adat di perkampungan yang masih menjaga tatanan kearifan para leluhur harus menyerah oleh kekuatan kapitalis yang menerobos masuk menggempur sumber daya alam yang mereka miliki. Mereka tergusur dan menjadi orang-orang kalah di tanah sendiri.
Bagaimana Dengan Maluku?Kepulauan Maluku sebagai bagian integral dari Indonesia, juga memiiki kekayaan alam dan hayati yang melimpah ruah, mulai dari darat hingga laut. Kekayaan laut Maluku tidak perlu diragukan lagi, karena itulah menjadi
fishing ground kapal-kapal penangkap ikan dari berbagai negara. Ironinya, pendapatan dari sektor primadona ini justru tersedot lebih banyak ke pusat. Belum lagi praktek penangkapan ikan secara ilegal menggunakan trol atau pukat harimau yang merusak ekosistem laut kita.
Begitu pula kekayaan di darat, mulai dari bahan tambang, hasil pertanian hingga hutan menjadi daya tarik tersendiri. Tambang emas di pulau Wetar telah dieksploitasi tapi tidak mensejahterahkan masyarakat di sana. Kandungan emas di perut bumi Haruku hendak dieksploitasi tetapi ditentang habis-habisan oleh masyarakat adat setempat. Sementara hutan kita, sudah tidak bisa dibilang lagi tingkat kerusakannya, terutama di pulau Seram dan pulau Buru. Pemegang konsensi hutan (HPH) telah menjarah hutan kita. Lantas apa faedahnya buat masyarakat adat selaku pemegang hak ulayat?
Sejak tahun 1970-an, beberapa perusahaan besar pemegang HPH membabat lebih dari 300.000 hektar lahan meramu tradisional yang menjadi sumber kehidupan utama masyarakat adat Buru. Di saat eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran terjadi, yang didapat oleh masyarakat adat setempat hanyalah kondisi hutan dan alam yang rusak binasa.
Menurut buku “Orang-Orang Kalah” diterbitkan Insist Press dan Jaringan Baileo Maluku, PT. Gema Sanubari memiliki konsensi hutan seluas 305.000 hektar di Pulau Buru, lengkap dengan satu pabrik plywood, Wainibe Wood Industry di desa Wainibe, Kecamatan Buru Utara Barat. Sementara PT. Panca Karya menguasai wilayah konsensi seluas 73.000 hektar.
Ini belum termasuk wilayah konsensi besar milik salah satu konglomerat hutan terbesar nasional, Jayanti Group, serta beberapa perusahaan lainnya. Praktis, hampir seluruh dataran Buru adalah wilayah konsensi hutan dan menjadi hak perusahaan. Luar biasa, bagaimana kondisinya setelah 20 atau 30 tahun kedepan? Tak bisa dibayangkan tingkat kerusakan sebagai konsekuensinya.
Sementara di Pulau Seram, tahun 1991 pemerintah mencanangkan program pemukiman kembali (
resttelement) bagi orang-orang Huaulu, suku asli Seram yang menetap di Sekenima (Nunusaku). Mereka direlokasi ke desa Alakamat di pesisir pantai utara Pulau Seram, sekitar 23 kilometer dari tempat asalnya.
Kenyataanya, ada rencana tersembunyi dibalik alasan resmi pemukiman kembali tersebut. Menyusul orang-orang Huaulu pindah ke Alakamat, dengan segera puluhan bulldozer dan chainsaw menyerbu masuk kawasan hutan sekitar Sekenima serta membabat hutan sekitarnya. PT. Bharata Jaya yang memperoleh konsensi hutan di wilayah itu pun segera memulai operasinya.
Tergusurnya orang Huaulu dari Sekenima, bukan saja merampas mereka dari tanah pusaka, tetapi adat yang menjadi tradisi turun-temurun ikut tercerabut akibat arus perubahan yang begitu kuat. Hidup di pemukiman baru yang lebih terbuka membuat generasi berikutnya mulai menanggalkan tradisi leluhur. Para pemuda tidak lagi memakai kain berang (kain ikat kepala berwarna merah) dan cidaku (cawat khas Huaulu). Generasi mudanya semakin miskin budaya. Kondisi ini mengkhawatirkan kaum tua.
Perlawanan Rakyat Seiring dengan gempuran kekuatan kapitalis atas nama pembangunan, terjadi pula perlawanan rakyat yang berjuang atas nama hak. Sebut saja orang-orang Lindu di Sulawesi Tengah yang ketika menyadari bahwa mereka akan dipindahkan karena adanya proyek PLTA Lore Lindu, mereka pun melakukan perlawanan. Perlawanan ini di dorong oleh kekuatiran hilangnya kebudayaan Lindu karena pemindahan mereka dari tanah leluhur. Secara emosional mereka sangat terikat pada tanah leluhurnya itu.
Dewasa ini, bumi Dayak tidak lagi damai. Derasnya pembangunan dengan berbagai proyeknya telah menciptakan penderitaan dan kekacauan di wilayah Kalimantan. Implementasi dan pengembangan proyek perkebunan kelapa sawit, HPH, HPHTI, pertambangan, mekanisasi pertanian seperti lahan gambut sejuta hektar telah memicu konflik di hampir seluruh wilayah Kalimantan. Ini dipicu karena, berbagai proyek pembangunan itu telah mengambil alih hampir seluruh kekayaan alam orang Dayak. Pada saat yang sama kearifan asli orang Dayak secara ekologis juga turut musnah.
Sementara di Maluku, tercatat pernah terjadi beberapa perlawanan rakyat melawan kekuasaan kapitalisme. Diantaranya, tahun 1990-an, Kepala Kewang Negeri Haruku Eliza Kissya harus berhadap-hadapan dengan kekuatan kapital hanya karena dia ingin mempertahankan harga diri anak adat dalam menjaga budaya Sasi yang diwariskan leluhurnya. Sebagai kepala kewang, Kissya berkewajiban menjaga Sasi yang merupakan tradisi leluhur untuk menjaga dan mengamankan sumber daya alam, baik di darat maupun laut.
Perusahaan In-Gold dari Kanada dan PT. Aneka Tambang (Antam) Indonesia yang hendak melakukan eksploitasi emas dari perut bumi Haruku ditentang habis-habisan. Pada satu kesempatan, Kissya yang mendapat kalpataru dan satyalencana pembangunan karena melestarikan budaya Sasi ini mengancam bunuh diri di depan umum jika perusahaan tetap memaksa melakukan kegiatannya. Perlawanan Kissya akhirnya membuahkan hasil. Dia berhasil mengusir perusahaan tambang dari kampung halamannya.
Perlawanan masyarakat Haruku bukan tanpa alasan. Selain mengancam budaya mereka, dampak dari kerusakan lingkungan yang akan timbul jika pertambangan tetap dipaksakan di Pulau Haruku yang hanya seluas 150 kmē, bakal mengancam kehidupan masyarakat akibat ekses limbah merkuri. Bukan saja masyarakat Haruku, tetapi sepuluh negeri adat yang mendiami pulau tersebut maupun pulau-pulau sekitarnya yang berjarak antara satu hingga tiga mil laut bakal tercemar akibat limbah perusahaan jika dipaksakan melakukan eksploitasi emas di sana.
Perlawanan lainnya, masih segar dalam ingatan kita, penerima kalpataru dan satyalencana pembangunan Lodwik Dominggus Sinanu, harus bermandi pelu memperjuangkan haknya yang dirusak perusahaan property. Hutan mangrove yang dirintisnya sejak tahun 1970-an rusak begitu saja, lantaran PT. Modern Multi Guna melakukan proyek perumahan dan mencemari hutan mangrove dengan lumpur tanah merah sehingga terjadi sendimentasi hingga dua meter lebih di areal hutan konservasi mangrove. Kenyataannya, keadilan tak semudah dibayangkan Sinanu. Berbeda dengan Kissya, Sinanu harus “bertekuk-lutut” oleh hukum karena gugatannya tidak diterima pengadilan. Sinanu kalah oleh kekuasaan perusahaan dan hukum di negeri ini.
Puncak dari kekesalan itu, Sinanu bersama Kissya menggandeng puluhan aktivis lingkungan melakukan aksi demonstrasi saat kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon beberapa waktu lalu. Saat SBY melintas dihadapan demonstran di Kawasan Lateri, Kissya dan Sinanu menjungkir-balikan kalpataru di hadapan SBY, sebagai simbol kekecewaan mereka terhadap sistem negara yang tidak lagi pro terhadap lingkungan hidup dan kelestariannya.
Kearifan Adat Menjaga KeseimbanganPosisi adat pada dasarnya bertindak sebagai pilar keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu antara lain, tampak dari posisi adat di Minangkabau misalnya, yang menyatakan bahwa adat adalah langkah menyesuaikan diri dengan agama, tercermin dari prinsip “Adat bersendikan syariat dan syariat bersendikan kitab Allah”.
Hal ini juga tertuang dalam hukum Larvul Ngabal di Maluku Tenggara, yakni hukum adat yang mengatur kehidupan manusia menuju kedamaian dan kebahagiaan bersama. Di dalam adat terkandung nilai-nilai filosofis tentang kehidupan, penuh kearifan dan keadilan serta memberi penghormatan terhadap sesama manusia dan juga alam.
Dalam pandangan orang Dayak, segala sesuatu yang ada di alam dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Untuk itu, manusia harus memperlakukan benda-benda alam dengan penuh tanggungjawab. Pandangan itu dituangkan dalam aturan-aturan hukum adat Dayak. Berdasarkan hukum adat, orang Dayak harus memanfaatkan sumberdaya alam secara benar, bertanggungjawab, dan untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya saja.
Kearifan adat seperti ini juga dimiliki orang Maluku yakni Sasi. Tradisi Sasi diterapkan untuk melindungi jenis tumbuhan atau hewan tertentu. Dalam periodik waktu tertentu, ada larangan mengambil hasil hutan dari jenis tanaman tertentu, termasuk menangkap ikan di laut. Jika ada pelanggaran maka yang bersangkutan dikenai sanksi moral dan sanksi material. Di saat orang baru mulai berbicara tentang pembangunan berkelanjutan, jauh sebelum itu nenek moyang orang Maluku sejak ratusan tahun lalu sudah menerapkan sistem pengelolahan tradisional yang disebut Sasi tersebut.
Sasi juga mengutamakan soal etika. Misalnya di kampung-kampung tertentu yang masih kuat menjaga budaya ini, kaum pria dilarang bersarung di luar rumah pada siang hari, kecuali sakit. Ada juga larangan agar perempuan sewaktu pulang dari sungai setelah mandi atau menyuci tidak memakai kain sebatas dada. Menurut Eliza Kissya, berbagai bentuk Sasi muaranya hanya satu yakni kearifan manusia terhadap alam. Dalam konteks itulah, Sasi mengatur hubungan manusia dengan alam dan antar manusia itu sendiri. Sasi juga berarti upaya memelihara tata-krama hidup.
Persoalan mendasar yang terjadi di era sekarang ini adalah pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam yakni, hak-hak lingkungan dan keadilan lingkungan (
rights to environment and environmental justice). Perlu ada kesamaan cara pandang melihat ancaman krisis lingkungan dan hubungannya dengan manusia, sehingga bisa mempertimbangkan
political ecology menyikapi krisis lingkungan sebagai perwujudan dari ketimpangan dalam alokasi kekuasaan dan kapital. Dari sisi etika, diperlukan cara pandang baru yang lebih kritis terhadap kehidupan itu sendiri, khususnya terhadap bentuk-bentuk kehidupan yang sangat meterialistis dan hedonis.
Dari pandangan
political ecology, negara mempunyai peran penting dalam proses akumulasi atas kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh kelompok kapital (pemilik modal), serta menciptakan proses marginialisasi masyarakat lokal di sisi lain. Isu tentang hak adat dan keadilan lingkungan harus terus diperjuangkan, agar masyarakat kita tidak terus termarginal oleh proses globalisasi dan perdagangan bebas.
Kita mestinya lebih kritis menyikapi gejala baru yang mengangkat tema investasi sebagai solusi pembangunan di daerah ini. Jangan sampai solusi itu justru membuahkan masalah di kemudian hari dan kita menjadi orang-orang yang sangat berdosa kepada generasi dibawah kita karena mewarisi alam yang rusak-binasa. Kita harus segera bertindak melawan kapitalisme untuk tidak membiarkan anak-cucu kita, generasi masa depan hidup terkapar hanya atas nama pembangunan dan perubahan yang kita sepakati sekarang ini.
Tabea!