Warga Porto Nilai Aparat Tidak Tegas
Gereja Diminta Ikut Berpartisipasi untuk Damaikan
PERTIKAIAN antar negeri bertetangga di pesisir pantai Haria dan Porto Kecamatan seakan menjadi sebuah persoalan komunal yang sulit terpecahkan. Jika ada kejadian kecil saja dan tidak serius ditangani oleh polsek setempat, maka akan berkembang menjadi konflik antarkampung.Padahal, masyarakat kedua desa adalah orang saudara dan seagama sehingga untuk mendamaikan sangatlah mudah. Namun ada dugaan pertikaian antar dua desa ini sengaja dipelihara untuk kepentingan tersentu. Hal itu terlihat dari ketidaktegasan aparat keamanan khususnya dari kepolisian yang ditempatkan di daerah ini.
Para pemuda Desa Porto mengaku sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi di wilayah itu, karena pertikaian sudah menimbulkan korban jiwa, korban harta benda, bahkan simbol keagamaan seperti gereja tak luput dari korban aksi kekerasan.
''Akar persoalan yang mengakibatkan konflik antar kampung ini khan sebenarnya bukan masalah yang besar. Namun kami menilai ada unsur pembiaran dari aparat keamanan khususnya pihak Polsek Saparua sehingga bisa berkembang menjadi konflik antarkampung. Sudah begitu, kami juga melihat ketidakseriusan pemerintah daerah, baik Pemkab Maluku Tengah, Pemprov Maluku dan juga aparat keamanan yang ditempatkan di sana dalam menangani persoalan yang terjadi,'' kesal Ary Tupamahu, tokoh pemuda Porto.
Akibat pembiaran itu, lanjut dia, akhirnya menimbulkan banyak persoalan dan munculah korban di kedua belah pihak. ''Padahal, khusus untuk masyarakat Porto, saya tahu betul bahwa mereka itu sangat patuh dan dengar apa kata negara. Nah sekarang, tinggal mau tidak, aparat dan pemerintah sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan yang terjadi,'' ujar dia.
Ditambahkan pula, masyarakat juga sudah jenuh dengan pertikaian ini, karena mayoritas warga yang berprofesi sebagai petani merasa was-was dan tidak berani pergi ke kebun. Belum lagi, anak-anak sekolah yag tidak dapat bersekolah dengan baik.
Sementara itu, Ronny Tamaela, pemuda Porto yang mengaku marganya itu berasal dar Desa Haria dan juga salah satu korban pertikaian mengatakan, warga di Porto tidak melihat orang Haria sebagai musuh, atau menganggap diri sebagai musuh orang Haria. Itu karena hubungan persaudaraan masih sangat kental.
''Pertikaian Porto-Haria ini sudah terjadi lama, bahkan dari tahun 50-an, namun terus terjadi karena penanganannya yang keliru,'' kata dia.
Ronny menegaskan, memang benar kalau ada unsur pembiaran. Tentang upaya perdamaian dari pemeintah Ronny mengakuinya. ''Memang benar bahwa pemerintah berupaya memfasilitasi perdamaian, tetapi itu tidak dilakukan secara kontinyu,'' tambahnya.
Ia mencontohkan, jika akibat konflik lalu ada kerusakan motor misalnya, pemerintah sudah berjanji akan menggantinya, tetapi yang terjadi justru bukan diganti tetapi diperbaiki. ''Sebenarnya kita ini bukan anak manja yang ketika ada masalah, diberikan uang lalu selesai, tetapi intinya kita masih butuh pendampingan. Masyarakat Porto maupun Haria butuh pendamingan dan perhatian,'' ubernya.
Yang kedua, lanjut dia, polisi yang bertugas di Porto maupun Haria tahu jelas-jelas bahwa setiap kali pertikaian, ada banyak jenis senjata yang digunakan masyarakat, namun sejauh ini tidak ada tindakan tegas yang diambil terhadap mereka-mereka yang memiliki senjata terutama senjata api tersebut. ''Nah, inilah yang membuat masyarakat tidak jerah. Punya senajat api, disita, tetapi tidak diproses. Padahal kita ini khan negara hukum dan ada aturan tentang kepemilikan senjata,'' tambah Ronny.
Masyarakat Porto-Haria, tandas pemuda ini, adalah warga negara yang butuh perhatian pemerintah, baik pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, bahkan negara ini. Karena itu, mestinya semua warga di kedua desa ini diperlakukan sama dengan semua warga nagara yang ada di Indonesia.
Ia lalu menilai bahwa pertikaian ini juga merupakan bagian dari pembodohan kepada masyarakat Porto-Haria pasalnya akibat konflik, anak-anak sekolah tidak dapat beraktifitas seperti biasa. Padahal, saat ini adalah saat dimana anak-anak sekolah sedang mengikuti ulangan, bahkan ada yang sedang persiapan untuk menghadapi ujian nasional.
''Mari kita menyadari hal ini dengan sungguh-sungguh agar kita bisa mengaktualisasikan diri kita dengan baik, jangan sampai kita diketawain oleh orang lain. Di Porto dan Haria, ada banyak orang yang berlatarbelakang seperti saya, dimana kendati tinggal di Porto tetapi sebetulnya dari Haria, demikian sebaliknya. Nah, marilah kita menjadi agen-agen perdamaian,'' harapnya.
Senada dengan Tupamahu dan Tamaela, tokoh pemuda Porto lainnya yakni, Ivanro Wattimury menambahkan, dirinya menilai aparat keamanan memang lemah dalam menangani setiap persoalan.
Wattimury bahkan meminta agar Kapolsek Saparua harus dicopot saja dari jabatannya karena lemah dan menangani kejadian-kejadian yang bisa menjadi sumber pertikaian. ''Kapolsek harus dievaluasi. Biar perlu dicopot saja,'' kata dia.
Ia juga meminta agar Gereja Protestan Maluku (GPM) tidak tinggal diam menyikapi pertikaian Proto-Haria ini, apalagi ada laporan bahwa simbol-simbol agama seperti gedung gereja sering menjadi sasaran. ''Nah inilah yang sangat disesalkan. Lalu dimana peran pemimpin umat,'' tanya dia.
Selain mengimbau kepada Gereja, Wattimury juga meminta kepada pemerintah desa untuk ikut berperan aktif dengan melakukan koodrinasi agar bisa menenangkan warganya masing-masing. Dengan demikian, pertikaian antar orang saudara ini bisa cepat diselesaika