Dino Pattisahusiwa Ranking 6 (0 Bintang)
Jumlah posting : 42 Age : 50 Lokasi (KOTA-PROV) : Kanawa Indah - Ambon Registration date : 28.04.08
| Subyek: Sekilas Sejarah Pela-Gandong Louleha
Potret Rekonsiliasi Anak Nege Wed May 14, 2008 9:43 am | |
| Sekilas Sejarah Pela-Gandong Louleha
Potret Rekonsiliasi Anak Negeri Adat di Maluku Oleh : Syarafudin Pattisahusiwa Tahun lalu publik kota Ambon disuguhkan dengan sebuah totonan menarik. Ribuan mata dibuat molotot kearah laut Teluk Ambon. Saat itu tengah berlangsung Lomba Menggurebe Arumbae yang akhirnya kembali dimenangkan oleh tim dayung asal Louleha yang merupakan gabungan dari warga dua negeri, Siri-Sori Islam dan Haria. Cerita keberadaan Louleha pun ramai dibicarakan dan menghiasai lembaran sejarah rekonsiliasi anak negeri di tanah ini. Seperti apa ceritanya?
Nama “Louleha” kembali mengiang dipublik kota Ambon. Sebuah nama yang mungkin baru familiar seteleh hadirnya event bergengsi di bidang olah raga dayung di kota Ambon. Lomba yang baru tiga tahun digelar dan begitu kental dengan sebutan “Manggurebe Arumbae Pela -Gandong” ini membuat nama Louleha begitu dikenal. Maklum tim dayung yang menghimpun kekuatan dua anak negeri ini kembali mengukir sejarah baru dalam bidang olahraga dengan menyabet juara bertahan tiga kali berturut-turut, setelah mendepak enam tim dayung lainnya yang ikut berlaga saat itu. Perjaungan Louleha sekaligus memperkokoh ikatan pela-gandong yang dirajut para lelulur ratusan tahun silam. “Louleha” sejatinya adalah sebuah nama yang merupakan akronim dari kata Louhata –Leawaka. Louhata adalah nama lain dari Negeri Siri-Sori Islam dan Leawaka adalah nama lain dari Negeri Haria. Nama dua negeri adat yang kemudian digabungkan ketika warga dua negeri ini barbaur dalam satu tim olahraga maupun dalam event lainnya. Puluhan tahun lalu nama Louleha juga sempat menjadi boomerang di dunia olah raga sepak bola Maluku, ketika itu tim sepak bola Louleha juga menunjukan kebolehannya diarena pertandingan. Sejak saat itu, nama Louleha mulai menghilang. Medio Agustus 2007 lalu, nama ini kembali menggema hampir diseantero ranah ini. Setalah tim dayung yang beranggotakan 30 orang anak di dua negeri itu, berhasil mengukir prestasi gemilang, mempertahankan trofi bergengsi Piala Gubernur Maluku pada lomba Manggurebe Arumbae menyambut HUT Provinsi Maluku. Mungkin sebagian orang akan melihat hal ini merupakan sebuah kebetulan. Tapi lain lagi bagi warga dua negeri raksasa di pulau Saparua ini. Bagi mereka, kemenangan tim dayung, bukan semata karena mereka memilki fisik yang kuat dan teknik yang handal dalam melawan arus dan gelombang teluk Ambon. Tapi kemenangan itu tak lain lantaran restu para leluhur mereka, setelah dilakukan ritual adat saat bertarung dalam arena lomba tersebut. “Sebagai anak negeri prestasi ini bukan hanya merupakan sebuah kemenangan semata, tapi harus dimaknai sebagai satu prestiwa sakral pengulangan perjalanan sejarah dua negeri dalam merekatkan hubungan orang basudara yang diwariskan para pendahulu kita,” ungkap Husein Toisuta, tokoh masyarakat Negeri Siri Sori Islam. Warga dua negeri adat ini, memang memiliki hubungan yang sangat kental. Konon menurut cerita, warga dua negeri ini berasal dari dua datuk yang memiliki hubungan persaudaraan (gandong). Hubungan ini kemudian diperkuat para datuk dengan ikatan Pela, minum darah. Menurut hikayat warga Negeri Siri-Sori Islam, cerita Pela terjadi saat dua kapitang dari dua negeri ini, bersatu menggempur pertahanan bangsa Belanda yang saat itu berpusat di Benteng Derustede, kota Saparua. Kapitang Said Perintah dari Louhata merupakan otak dari penyerangan itu. Dia merupakan satu diantara penggagas untuk mengumpulkan para kapitang menyerang benteng Derustede yang dijaga ketat ratusan tentara kompeni saat itu. Sebelum penyerangan itu dilakukan, Said Perintah menjalankan sebuah ritual ibarat “Saimbara” guna mencari siapa kapitang yang bakal memimpin pasukan melakukan infasi ke pertahan Belanda. “Saimbara” itu dilakukan dengan menanam sebuah tombak yang ujungnya terhunus mengarah keatas. Para kapitang yang berkumpul diminta untuk bisa berdiri di atas tombak. Siapa yang mampu menaklukkan permintaan itu akan ditunjuk menjadi pemimpin pasukan. Satu per satu kapitang yang berkumpul kemudian mencoba menunjukan kebolehannya. Saimbara pun berlangsung. Tapi belum ada yang mampu memenuhi permintaan itu. Hingga salah satu kapitang dari Leawaka mampu melakukannya. Kapitang itu naik ke ujung tombak. Saat berdiri di ujung tombak yang terhunus, kaki sang kapitang berdarah karena tertikam ujung tombak. Darah segar pun mengalir, setelah itu sang kapitang turun dari tombak, disambut kapitang Said Perintah. Said Perintah kemudian mengusap darah segar yang mengalir di kaki Kapitang asal Leawaka itu dan menjilat darah-nya yang tersisa ditangannya, sambil mengucapkan kata “Pela” yang artinya habis. Tentunya yang dimaksud, adalah darah yang keluar dari kaki sang kapitang, tidak lagi keluar atau habis. Mereka pun bersumpah akan menjalin hubungan persaudaraan itu sampai ke anak cucu mereka. Sejarah ikatan Pela inilah yang tertanam hingga sekarang. Anak cucu kedua datuk yang kini merupakan penghuni Negeri Siri –Sori Islam dan Haria diingatkan untuk tetap saling mengasihi, tidak boleh ada yang membuat sesama menjadi tersinggung, apalagi sampai mengawini sesamanya. Versi lain sejarah terbentuknya ikatan Pela ini, juga menyebutkan, selain dua datuk dari negeri ini memiliki hubungan kekeluargaan, janji untuk menjaga hubungan persaudaraan antara kedua negeri ini sudah terikat jauh sebelum cerita diatas. Sejarah anak Negeri Siri-Sori Islam ini tidak bisa dilepaspisahkan dari Negeri Haria, Hutumuri, Tamilow dan Negeri Waai. Lima negeri ini memiliki hubungan persaudaraan. Datuk Silaloi dari negeri Siri Sori Islam mempunyai empat saudara masing-masing Timanole untuk Negeri Tamilow, Simanole untuk Hutumury dan dua saudara perempuan mereka beranakcucu warga Negeri Waai dan Haria. Dari cerita rakyat yang tersadur itu menyebutkan, pada satu saat datuk Silaloi juga melakukan ritual sumpah berupa minum darah dengan saudara perempuannya dari Haria, sumpah itu dilakukan dengan ditandai ikrar “Sei Leli Hatulo, Hatulo Eleli Esepei,” yang artinya siapa yang melawan atau berbuat melanggar sumpah ini akan mendapatkan petaka. Sumpah ini, merupakan cikal bakal terciptanya hubungan yang harmonis kedua anak negeri adat itu. Sudah banyak bukti prestiwa yang mengingatkan betapa ampuhnya sumpah kedua datuk itu. Misal saja, pernah terjadi adanya hubungan asmara antara dua warga asal dua negeri ini, sampai akhirnya petaka datang menjemput mereka. Boleh percaya atau tidak, tapi memang demikian. Untuk mengenang sekaligus menguatkan ritual diatas, di tahun enam puluhan, kedua negeri ini sempat berbaur menjalankan ritual “panas pela” yang bertujuan mengingatkan kembali sejarah tersebut. Kini anak cucu Louleha kembali berbaur dalam satu perahu, berlaga di arena lomba dayung, meraih juara, menghilangkan sekat perbedaan antar sesama, sekaligus memegang teguh ikrar “Sei Leli Hatulo, Hatulo Eleli Esepei,”. Dan juga menjadi panutan sejarah rekonsiliasi anak adat negeri Maluku *** | |
|