blasteran elhau Ranking 6 (0 Bintang)
Jumlah posting : 31 Age : 43 Lokasi (KOTA-PROV) : Ambon-Maluku Registration date : 19.06.07
| Subyek: Kelapa Sawit, Solusi Atau Masalah? Fri Dec 26, 2008 4:28 pm | |
| Kelapa Sawit, Solusi Atau Masalah?
Banyak ilmuan sosial menamakan abad ini “the age of development”, yakni zaman di mana gagasan development sangat mempengaruhi umat manusia secara global. Konsep development sangat berpengaruh karena menjanjikan harapan untuk memecahkan masalah kemiskinan dan keterbelakangan.
Kini development menjadi visi, teori, dan proses yang diyakini sebagai satu-satunya solusi, terutama di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Ada banyak kata yang bermakna sama dengan development, misalnya perubahan sosial, pertumbuhan dan industrialisasi.
Namun jika ditelisik lebih dalam, developmentalisme sesungguhnya manifestasi dari ideologi modernisasi. Pada dasarnya, hubungan antara modernisasi dan tradisi merupakan hubungan yang menempatkan tradisi dan masyarakat adat sebagai objek untuk dimodernisir. Hubungan yang demikian merupakan hubungan dominatif oleh karena modernisasi juga berdimensi kekuasaan.
Modernisasi sangat berpeluang merombak tradisi masyarakat adat, termasuk kearifan lokal dan tatanan hidup masyarakat yang terbangun sejak lama. Salah satu yang paling terkini dan akan dibahas dalam tulisan ini adalah rencana investasi perkebunan kelapa sawit yang tengah digalakan di pulau Seram dan pulau Buru, Provinsi Maluku.
Menurut penulis, masuknya perkebunan sawit di Maluku akan mengubah secara radikal sistem pertanian tradisional menjadi sistem pertanian industri yang belum tentu membawa dampak positif bagi kemaslahatan masyarakat di daerah ini.
Rencana konversi lahan rakyat termasuk tanah ulayat menjadi perkebunan sawit selalu di sebut oleh mereka yang berkepentingan dengan keuntungan investasi ini sebagai solusi pembangunan. Ada argumen bahwa investasi lewat sawit akan membuka lapangan pekerjaan, menuntaskan masalah kemiskinan, mendongkrak PAD (pendapatan asli daerah), menaikkan derajat hidup, dan sebagainya.
Tetapi, apakah benar investasi perkebunan sawit membawa dampak positif bagi masyarakat kita? Bukankah keuntungan itu hanya dinikmati oleh jaringan konglomerat yang berinvestasi di sektor ini? Lantas, bagaimana pengaruhnya nanti pada lingkungan, adat istiadat dan kearifan lokal masyarakat, serta pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat?
Pertanyaan ini harus dijawab secara jujur oleh para penguasa di daerah ini, termasuk para pemilik modal yang katanya sedang berada di Maluku untuk menjajaki rencana investasi sawit di Seram dan Buru.
Demam Kelapa Sawit Pada satu kesempatan di bulan Desember 2007, penulis diundang oleh tiga lembaga yakni KontraS, INFID dan IMPARSIAL untuk menghadiri workshop Security Sector Reform (Reformasi Sektor Keamanan) di Jakarta. Saat itu, salah satu kawan dari Borneo Institute (Kalimantan) yang juga diundang bercerita banyak tentang kisah sedih masyarakat adat dan petani sawit di daerahnya.
Kisah itu tentang keserakahan kalangan konglomerasi yang berdampak pada penghancuran ekosistem hutan, terancam punah sejumlah satwa endemik Kalimantan, hancurnya tatanan adat dan kebiasaan hidup masyarakat Dayak, terciptanya kemiskinan struktural, konflik tanah yang berkepanjangan, serta masih banyak lagi persoalan yang memiris hati.
Semoga pengalaman masyarakat adat dan petani sawit di Kalimantan dan Sumatera yang penulis diskripsikan dalam tulisan ini, bisa menjadi bahan renungan kita sebelum mengambil keputusan menggadaikan tanah ulayat peninggalan leluhur kita kepada pihak investor.
Perkebunan sawit menghasilkan tandan buah segar yang dibawa ke pabrik untuk diolah dan diambil minyaknya. Minyak sawit dikirim ke pabrik-pabrik pengelolahan sedunia, terutama Eropa, China dan India. Bahan baku minyak sawit kemudian diolah lagi menjadi sejumlah produk seperti makanan sampai kebutuhan sehari-hari seperti shampo, sabun dan deterjen. Dengan naiknya harga BBM, minyak sawit juga dijual sebagai bahan bakar nabati untuk angkutan bermotor dan pembangkit tenaga listrik.
Untuk pasar global, Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen perkebunan sawit dunia. Indonesia sendiri memiliki 6 juta hektar perkebunan sawit yang tersebar di sejumlah pulau-pulau besar yakni Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dengan kebutuhan yang begitu besar, lahan sawit terus diperluas ke pulau-pulau lainnya di Indonesia. Pulau Seram dan Buru di Maluku juga dilirik jaringan konglemarasi ini untuk menancapkan kuku investasinya.
Hampir semua provinsi mengalami demam sawit. Pemerintah pusat dan sebagian pemerintah daerah bahkan merencanakan pengembangan sawit karena dipengaruhi oleh kebutuhan pasar dunia. Kebutuhan ini hendak dijawab oleh Indonesia untuk menjadi negara pengekspor terbesar minyak sawit dunia.
Agar industri ini berkembang, perusahaan sawit membutuhkan lahan yang lebih luas. Banyak sekali tanah-tanah kampung yang cocok untuk ditanami sawit. Pemerintah daerah dan perusahaan yang diuntungkan dengan perkebunan sawit akan terus berusaha meyakinkan masyarakat agar mau menyerahkan tanah mereka.
Perkebunan sawit lebih sering ditawarkan sebagai solusi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Namun berdasarkan pengalaman yang sudah ada, perkebunan sawit ternyata lebih sering menimbulkan banyak masalah ketimbang manfaatnya seperti kerusakan hutan, kepunahan hewan, banjir, pencemaran air, kemiskinan, konflik tanah, dan kebakaran yang menyebabkan kabut asap se-Asia Tenggara.
Dampak Buruk Perkebunan Sawit Selama ratusan tahun petani Indonesia menghasilkan bahan makanan untuk kebutuhan pangan keluarga dan komersil yang diperoleh dari cara bertani. Meskipun tradisional, pola pertanian ini diakui sebagai salah satu pertanian paling stabil di dunia. Mengganti pertanian tradisional menjadi pertanian intensif yakni perkebunan sawit adalah satu perubahan besar dalam berperilaku dan berkebiasaan.
Perkebunan adalah aktivitas agrikultur intensif dan sangat membutuhkan banyak input secara teknologi maupun modal. Perubahan radikal dari sistem pertanian tradisional menjadi pertanian intensif, akan memunculkan persoalan di mana masyarakat kita belum punya kapasitas yang siap untuk mengelolah perkebunan sawit.
Perubahan mendasar lainnya untuk petani sawit adalah, buah sawit hanya bisa bertahan selama 24 jam sebelum membusuk, sehingga harus dijual secepatnya ke pabrik perusahaan. Sering hanya ada satu pabrik berada di dekat perkebunan. Ini membuat posisi tawar petani sawit atas harga buah begitu rendah. Berbeda dengan karet yang bisa bertahan sampai berbulan-bulan.
Perubahan lainnya, pertanian tradisional jarang menggunakan obat-obatan kimiawi seperti herbisida dan pestisida. Penggunaan obat-obatan di perkebunan sawit tentunya berisiko bagi kesehatan petani. Masuknya sawit juga mengubah cara bekerja masyarakat. Penelitian terbaru dari Sawit Watch membuktikan bahwa 80 persen petani bekerja lebih keras setelah ada perkebunan sawit, sementara penghasilan mereka lebih sering merosot. Pekerjaan di perkebunan sawit juga lebih berat apalagi untuk petani yang berusia senja.
Film dokumenter berjudul “Maju Atau Mundur–Suara Dari Perkebunan Sawit” yang diproduksi Friends of the Earth, LifeMosaic dan Sawit Watch, bercerita bahwa kelapa sawit sebenarnya mengakibatkan masalah sosial dan ekonomi berkepanjangan. Film ini dibuat di 20 kampung di Kalimantan dan Sumatera yang sebagian besar masyarakatnya tinggal dan bekerja di perkebunan sawit. Kelompok masyarakat ini sangat merasakan dampak buruk perkebunan sawit terhadap perekonomian mereka, termasuk cara bertani, kerusakan lingkungan, persediaan air bersih, adat istiadat, serta hak atas tanah.
Film dokumenter yang diberikan oleh kawan dari Borneo Institute itu bermaksud untuk memberikan informasi tambahan tentang perkebunan sawit kepada masyarakat yang tinggal di wilayah rencana perluasan, termasuk di Seram dan Buru. Karena menyerahkan tanah kepada perusahaan atau menolak sawit adalah keputusan terpenting yang diambil untuk masa depan keluarga dan anak cucu kita kedepan?
Berdasarkan pengalaman petani sawit di Kalimantan dan Sumatera sebagaimana dikisahkan secara nyata dalam flim ini, perusahaan biasanya membujuk mereka dengan menjanjikan lahan plasma. Masyarakat menyerahkan tanah kepada perusahaan dan diberikan lahan lebih kecil untuk ditanami sawit. Setelah tanah sudah dimiliki, perusahaan lantas melakukan pembibitan dan menanami sawit di lahan plasma.
Anehnya, petani plasma justru di suruh membayar hutan milik mereka sendiri untuk biaya yang telah dikeluarkan pihak perusahaan. Biasanya, hutan itu dibayar dengan cara kredit ke bank. Artinya, petani sawit menjadi kuli di lahannya sendiri dan berhutan atas tanah miliknya sendiri.
Di Kalimantan dan Sumatera, masyarakat biasanya mendapat lahan sawit seluas satu kapling atas seluas dua hektar. Tentu saja masyarakat tidak akan merasakan bagaimana bisa hidup sejahtera hanya dengan satu kapling lahan sawit. Banyak persoalan dengan sistem plasma ini, karena petani mendapat lahan plasma sempit di tanah pinggiran dan harus menanggung hutang untuk tanah yang sudah dimilikinya secara turun-temurun.
Perusahaan sawit juga datang membujuk masyarakat dengan janji peluang pekerjaan. Padahal, perusahaan sawit sebenarnya memerlukan banyak tenaga kerja hanya pada waktu pembibitan dan penanaman. Kalaupun ada masyarakat yang mendapat pekerjaan di lahan sawit, belum tentu nasibnya beruntung secara ekonomi.
Salah satu senjata membujuk masyarakat juga adalah janji perusahaan memberikan ganti rugi saat lahan diserahkan. Di Sumatera misalnya, ganti rugi untuk lahan kosong senilai Rp.400 ribu, lahan produktif Rp.1,5 juta per hektar, dan lahan non produktif Rp.800 ribu per hektar.
Padahal harus diingat, pembayaran itu bukanlah ganti rugi tetapi pembayaran agar masyarakat melepas hak atas tanah untuk selama-lamanya. Dari pengalaman ini, masyarakat di Seram dan Buru harus mempertimbangkan sebaik-baiknya, apakah uang pembayaran lebih menguntungkan dari hasil yang mereka peroleh dari hutan seperti; kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan tradisional (herbal), damar, kayu, hewan buruan, dan lain sebagainya. Jika perkebunan sawit akhirnya di buka, maka masyarakat harus siap membayar banyak hal yang sebelumnya mereka peroleh secara gratis dari alam.
Krisis Budaya & Konflik Tanah Saat tumbuh, kelapa sawit membutuhkan banyak air. Ini berdampak pada penurunan debet air sungai yang berada di dekat perkebunan, termasuk pencemaran oleh limbah pabrik. Beberapa perusahaan di Indonesia memang mengelolah limbah mereka, tetapi realitasnya lebih banyak yang membuang limbah ke sungai. Pengaruh dari limbah ini, selain ikan atau hewan air tidak bisa hidup, air juga tidak bisa dikonsumsi manusia karena sangat membahayakan kesehatan.
Perkebunan sawit juga berdampak buruk pada budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal masyarakat. Di Provinsi Maluku, kita diwarisi sistem budaya sasi, yakni pelarangan mengambil hasil hutan atau hasil laut sebelum waktunya. Budaya peninggalan para leluhur ini berlangsung sejak ratusan tahun lamanya. Budaya sasi di hutan bisa dijalankan jika tanaman di hutan itu beraneka ragam.
Saat hutan di sulap menjadi perkebunan sawit maka secara otomatis yang tumbuh hanya satu jenis tanaman saja yakni kelapa sawit. Tentu saja, kondisi ini akan mengakibatkan perubahan hidup masyarakat dan budaya sasi kedepan terancam hilang. Generasi kita yang berikutnya akan semakin miskin budaya. Khusus di banyak kampung di Sumatera dan Kalimantan, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga merusak berbagai tempat keramat seperti kuburan nenek-moyang mereka. Mungkin saja kasus yang sama akan terulang di Maluku.
Perkebunan sawit juga berdampak buruk pada hak masyarakat adat atas tanah ulayat, dan ini berpotensi menciptakan konflik di kemudian hari. Perusahaan sawit memerlukan lahan yang luas untuk mendapat keuntungan besar. Di samping itu, pemerintah daerah se-Indonesia merencanakan melakukan perluasan hingga 20 juta hektar perkebunan kelapa sawit sebelum tahun 2020. Sebagian besar tanah yang dimaksud untuk perluasan lahan itu adalah tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat secara turun-temurun.
Masyarakat adat harus yakin dengan hak mereka atas tanah ulayat karena warisan para leluhur itu ada, jauh sebelum republik ini merdeka. UUD mengakui hak adat tetapi peraturan yang ada tidak memberikan perlindungan yang memadai pada hak-hak masyarakat, sebaliknya lebih menekankan hak negara atas tanah. Untuk kasus perluasan perkebunan sawit, pada kenyataannya pemerintah kerap memberikan ijin kepada perusahaan membuka perkebunan baru.
Setelah memperoleh restu pemerintah setempat, kepada masyarakat, perusahaan biasanya berjanji bahwa tanah masyarakat akan dikembalikan sesudah ijin pengelolahan lahan berakhir. Biasanya, kata pihak perusahaan ke masyarakat, lahan akan dipinjam oleh mereka untuk 25 tahun. Padahal, saat perusahaan mengatakan lahan akan kembali kepada mereka yang memiliki, yang dimaksud adalah tanah akan kembali ke negara, bukan ke masyarakat.
Masyarakat diberi gambaran bahwa perusahaan hanya mendapat ijin pemanfaatan tanah untuk jangka pendek. Namun pada kenyataanya, perusahaan berhak memperpanjang ijin pemanfaatan lahan hingga 120 tahun dan saat HGU-nya berakhir, tanah akan diambil oleh negara dan tidak dikembalikan ke masyarakat.
Kebijakan ini tentunya akan mengubah pembagian lahan secara mendasar. Pulau Jawa misalnya, sejak jaman kolonial telah dikembangkan perkebunan skala besar dan tercipta struktur penguasaan lahan yang tidak seimbang. Dampaknya sampai sekarang bisa kita lihat. Para petani di Jawa rata-rata hanya menguasai 0,25 hektar per keluarga, sementara perusahaan menguasai 1.000 hektar per perusahaan. Di era kemerdekaan, “penjajahan” seperti ini masih terus berlangsung seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Mungkin saja, suatu saat akan terjadi di Maluku.
Pengambil-alihan tanah rakyat pada akhirnya akan menimbulkan konflik. Saat ini sudah terjadi sekitar 350 konflik tanah yang terkait dengan perluasan perkebunan sawit di Indonesia. Konflik muncul karena banyak persoalan. Karena masyarakat tidak kompak, juga karena ada ancaman dari perusahaan atau aparat keamanan terhadap masyarakat yang mempertahankan tanah mereka. Sebab utama lainnya, sebagian besar konflik tanah terjadi karena selama ini pemerintah lebih sering berpihak pada perusahaan ketimbang masyarakat.
Dari pengalaman masyarakat di daerah perkebunan sawit di Indonesia, bisa kita simpulkan bahwa kelapa sawit hanya mensejahterahkan sebagian orang yakni para pemilik modal alias investor, tetapi di lain sisi menghasilkan masalah ekonomi dan sosial untuk banyak orang terutama masyarakat adat dan petani. Banyak petani dan buruh sawit harus menanggung hutang, gaji rendah, ketidak-pastian pekerjaan, hingga konflik dengan pihak perusahaan dan aparat keamanan.
Sebelum kita mengambil keputusan, sebaiknya setiap segi dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai keputusan hari ini membuat kita hanya menjadi kuli di tanah sendiri dan semuanya sudah terlambat untuk disesali di kemudian hari. Tabea! | |
|