Berjuang Menjahit Laut Yang Robek
KELUAR dari kemelut konflik sosial yang membawanya jatuh hingga ke titik nol, Provinsi Maluku melakukan gebrakan besar di tingkat Nasional. Bersama enam provinsi yang berkarakter wilayah kepulauan, mereka bersama-sama mendesak Pemerintah Indonesia untuk memberi pengakuan terhadap provinsi kepulauan. Kompensasinya, provinsi kepulauan berhak memperoleh perlakuan khusus berupa alokasi anggaran dan regulasi khusus.
Penggagas Provinsi Kepulauan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu yang saat ini menjabat Ketua Forum Kerjasama Provinsi Kepulauan hingga tahun 2010 nanti, berhasil mengumpulkan enam gubernur dan ketua DPRD provinsi kepulauan serta bersama-sama menandatangani Deklarasi Provinsi Kepulauan se-Indonesia pada 10 Agustus 2005 di Ambon, ibukota Provinsi Maluku. Peristiwa bersejarah itu dinamai Deklarasi Ambon.
Dalam deklarasi Ambon, tujuh pemerintah provinsi yang berkarakter wilayah kepulauan meminta pemerintah pusat mewujudkan implementasi pengakuan yuridis wilayah kepulauan melalui regulasi dan program yang dibutuhkan guna mempercepat pembangunan. Pemerintah pusat juga di minta memberi perlakuan khusus secara khusus dan proporsional dalam bentuk dukungan dan penetapan alokasi anggaran sesuai karakteristik wilayah kepulauan.
Tuntutan agar mendapat perlakuan khusus ini diajukan agar pulau-pulau kecil di wilayah provinsi kepulauan yang selama ini terabaikan terutama pulau-pulau di daerah perbatasan yang menjadi beranda negara memperoleh pemberdayaan. Dari provinsi kepulauan yang ada misalnya, Kepulauan Riau memiliki 20 pulau terluar dan Maluku 18 pulau terluar. Mereka juga menuntut amandemen Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pemerintah diminta agar mengacu pada Deklarasi Juanda yang diakui dunia internasional bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state).
“Kami tidak menuntut otonomi khusus tapi perlakuan khusus bagi provinsi yang punya karakteristik wilayah laut karena laut bagi kita tidak semata-mata media penghubung tapi juga menjadi wilayah publik, di mana aktivitas masyarakat dan pemerintahan berlangsung di situ,” kata Asisten I Setda Maluku Jopi Patty di Kantor Gubernur Maluku, belum lama ini.
Menurut Patty yang juga anggota Tim Teknis Forum Kerjasama Provinsi Kepulauan, selama ini provinsi kepulauan yang memiliki wilayah laut lebih luas dari daratan sangat dirugikan oleh kebijakan pemerintah pusat karena perhitungan dana alokasi khusus (DAU) mengacu pada luas kontinental, sementara laut tidak dipandang sebagai wilayah. Khusus untuk Maluku, dengan luas wilayah lautnya 92,7 persen dibandingkan luas daratan, menjadikan daerah ini dirugikan dalam pembagian DAU.
“Kita minta agar ada perlakuan yang lebih adil dan harus memahami karaktetristik wilayah kita yang 92,7 persennya adalah laut. Kalau aspek itu tidak diperhitungkan, kita sangat dirugikan,” tandasnya.
Di tempat yang sama, anggota Tim Teknis Forum Kerjasama Provinsi Kepulauan Matheos George Lailossa SH menyatakan, pemikiran awal dari pembentukan forum kerjasama antar provinsi kepulauan didasari pada Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957. Deklarasi Juanda menegaskan Indonesia sebagai satu kesatuan daratan dan laut yang filosofinya adalah Tanah-Air, tanah berarti darat dan air berarti laut.
Hanya saja, kata Lailossa, Deklarasi Juanda tidak difollow-up oleh pemerintah secara baik. Padahal, Pemerintah Indonesia juga turut memperjuangkan pengakuan itu sejak tahun 1982 dalam Konfrensi Internasional di Montego Bay pada 10 Desember 1982. Konfrensi tersebut mencetuskan archipelago state dan Unclos (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang mengatur batas negara kepulauan. Unclos telah diratifikasi Indonesia dengan mengeluarkan UU Nomor 17 tahun 1985.
“Mestinya setelah diratifikasi, Unclos yang menjadi konvensi hukum internasional menjadi hukum nasional. Tapi dalam perkembangannya, regulasi-regulasi yang dikeluarkan belum mengabdi pada Indonesia sebagai negara kepulauan. Untuk itu, yang merasa dirugikan adalah kami dari provinsi-provinsi kepulauan,” ujarnya.
Dalam UU Nomor 33 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, pemerintah mengupayakan agar fiskal yang diterima sebagai pendapatan nasional dibagi secara baik, rasional, objektif, kepada seluruh provinsi di Indonesia. Namun pembagian yang merupakan idikator dalam UU 33 yakni standar pelayanan minimum (SPM) mengacu pada lima aspek yakni luas wilayah, jumlah penduduk, income per kapita, PDRB dan indeks kemalang konstruksi. Lima indikator tersebut yang mengukur bagaimana DAU dibagi ke daerah.
Indikator yang sangat merugikan dari lima aspek ini, kata Lailossa, adalah luas wilayah yang dihitung berdasarkan luas daratan. Dalam UU nomor 32 tahun 2004 tidak disebutkan wilayah itu adalah darat atau laut, tetapi PP 55 tahun 2005 memberi batasan bahwa yang disebut luas wilayah adalah daratan. “Kalau luas wilayah itu yang di hitung maka kita dirugikan karena tidak menghitung luas wilayah Maluku yang notabene 92,7 persen adalah lautan ,” paparnya.
Selain pembagian DAU, provinsi kepulauan yang kaya akan potensi laut juga dirugikan dalam pembagian dana bagi hasil. Berbeda dengan daerah penghasil dari sektor energi, kehutanan, perkebunan, daerah asalnya mendapat kebagian 22 persen, baru sisanya dibagi ke daerah lain, dan itu berlaku pada semua sektor. Berbeda dengan itu, sektor perikanan justru tidak dibagi ke daerah pengasil karena alasan ikan tidak diketahui daerah domisili.
Menurut Lailossa, kebijakan bagi hasil tersebut tidak logis. Sebab, untuk mendapat Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) baik pembibitan, budidaya maupun penangkapan, dalam SIUP yang dimiliki perusahaan di sebut wilayah dan titik kordinat tempat perusahaan itu beroperasi. Saat perusahaan mencari di laut di perairan Maluku seperti Laut Banda, Laut Aru dan Laut Seram, maka titik kordinatnya berada di dalam wilayah Maluku.
“Ini sangat merugikan. Selain itu, kita anggap yang sangat prinsipil, laut hanya di lihat sebagai jembatan yang menghubungkan pulau dengan pulau, laut di lihat sebagai sumber daya alam yang memberikan pengasilan, tapi bagi provinsi-provinsi kepulauan, laut adalah ruang aktivitas publik dan kita minta supaya laut menjadi wilayah administratif pemerintah. Misalnya, kalau kita mau melayani orang sakit, di daerah lain butuh ambulans, tapi kalau kalau orang sakit itu di berada salah satu pulau maka artinya kita tidak butuh ambulans tapi butuh kapal. Jadi cost kita tentu sangat besar,” ungkap Lailossa.
Lebih lanjut Lailossa katakan, kalau perjuangan ini berhasil, kompensasinya DAU Maluku maupun provinsi kepulauan lainnya akan bertambah. Khusus untuk Maluku, DAU yang diperoleh per tahunnya bisa di atas Rp1 trilun.
“Dengan dana sebesar ini tentu banyak hal yang bisa kita kerjakan. Kita juga tidak mau terima uang banyak begitu saja karena kita sudah siap mengaturnya melalui program yang konsepnya disebut model pembangunan provinsi kepulauan. Beberapa departemen sudah menginplementasinya seperti Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Departemen Perikanan dan Kelautan. Model pembangunan provinsi kepulauan ini menjadi konsep makro pembangunan dan dikejarkan oleh ketujuh pemerintah provinsi kepulauan,” sebutnya (Blasteran Elhau)