Derita Yang Belum Berakhir
Penderitaan pengungsi Maluku seakan tak pernah habis. Setelah rumah dibakar, harta dijarah, ada kerabat terluka bahkan terbunuh, hingga terusir dari kampung halaman, ribuan pengungsi korban kerusuhan Maluku hingga saat ini masih banyak yang nasibnya belum tertangani oleh pemerintah.
Tidak sedikit dari mereka harus merasakan getir ketika ‘dipimpong’ sana-sini oleh aparatur pemerintah hanya untuk memenuhi syarat memperoleh haknya. Meskipun upaya serba-keras telah dilakukan hingga sering mendatangi dinas sosial maupun posko penanggulangan pengungsi untuk menanyakan haknya, upaya mereka tetap tak pernah menuai hasil.
Ribuan warga yang menyandang status pengungsi ini mungkin bisa dimasukan dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Bukan sebuah prestasi, tapi sebaliknya rekor menanggung derita. Mereka hidup dengan status terlama sebagai orang yang terusir dan mengungsi di negeri sendiri.
“Masih ribuan masyarakat pengungsi korban konflik yang belum ditangani. Sudah delapan tahun mengungsi tapi tetap saja merana. Tahun 2005 lalu pemerintah putuskan masalah pengungsi harus berakhir, ternyata sampai tahun ini tidak selesai. Rekor terlama mengungsi di negeri sendiri mungkin bisa dimasukan ke MURI,” ujar Ketua Koalisi Pengungsi Maluku (KPM) kepada blasteran elhau di sekretariat KPM, Ambon, Rabu (20/6).
Menurut Pieter, tidak tuntasnya pengungsi Maluku disebabkan data yang dimiliki pemerintah tidak pernah valid. Padahal, untuk mengetahui berapa banyak pengungsi cukup menghitung titik api (rumah yang terbakar, red) di masing-masing lokasi dengan melibatkan aparatur pemerintah sampai ke tingkat paling bawah seperti kelurahan dan desa.
Dikatakannya, tahun 2005 jumlah pengungsi yang terdata sebanyak 65.910 kepala keluarga dan yang telah tertangani 62.860 KK. Berarti sisa pengungsi yang belum ditangani hanya 3.850 KK. Ironinya, dua tahun kemudian, data ini membengkak menjadi 9.726 KK.
Disebutkannya, dana dari Departemen Sosial lewat dana dekosentrasi tahun 2003-2006 sebesar Rp.600 miliar dari total Rp.2,1 triliun dari dana Inpres Khusus Nomor 6 Tahun 2003 yang telah dikucurkan. Bukan baru tahun 2003 dana pengungsi mengalir dari kas APBN dan ABT, tapi sudah sejak tahun 1999 dana pengungsi Maluku dikucurkan pemerintah pusat. Ini belum termasuk anggaran APBD untuk publik yang dialokasikan buat pengungsi serta bantuan negara asing untuk masalah ini.
Pengamat hukum di Maluku George Leasa SH, MH menegaskan, masalah pengungsi di Maluku adalah masalah kemanusiaan. Karena itu, DPRD Provinsi Maluku harus punya komitmen politik untuk meminta pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Maluku. Sebab, sejak tahun 1999 hingga 2007 masalah ini tidak pernah beres.
“DPRD Maluku harus menggunakan hak interpelasinya meminta pertanggungjawaban pemerintah daerah terkait penanganan pengungsi yang sampai kini belum tuntas. Hak interpelasi jangan hanya bersifat politis, tetapi juga bersifat kemanusiaan,” tegas Leasa yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura ini.
Menurut Leasa, DPRD Maluku dalam menyelesaikan masalah pengungsi masih bersifat kompromis, artinya rekomendasi-rekomendasi yang pernah disampaikan ke pemerintah daerah masih bersifat lunak.
“Mestinya dampak politis ditagih oleh Dewan (DPRD, red). Artinya, pengawasan sampai di mana? apakah sudah dilaksanakan atau belum? Pengakan hukum bisa saja terjadi ada pelanggaran misalnya penipuan, korupsi, dan sebagainya,” ujarnya.
Menurut Leasa, data yang dimiliki Koalisi Pengungsi Maluku yang diketahuinya sudah cukup memenuhi syarat untuk melakukan proses hukum. Namun data yang telah disampaikan ke DPRD Maluku itu dukungan politiknya ternyata hanya dalam bentuk rekomendasi yang sifatnya administratif dan kompromis. Ia menilai, penyerahan masalah pengungsi dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota justru meninggalkan kesan kalau pemerintah provinsi ignin melepas tanggungjawab atau cuci tangan.
“Posko penanggulangan pengungsi Maluku yang dibentuk pemerintah provinsi dan telah dibubarkan gubernur harus mempertanggungjawabkan tugasnya ke publik karena masalah pengungsi adalah masalah kemanusiaan, dan ini masalah serius karena menyangkut mereka yang terkena dampak konflik,” tandasnya
Masalah pengungsi di Maluku tidak sepele diselesaikan dalam sekejap. Bukan saja soal triliunan anggaran yang sudah terkuras habis, validasi data jumlah pengungsi untuk menangani masalah mereka hingga saat ini belum juga final, namun juga menyangkut moral eksekutif dan political will legislatif. Data sisa pengungi milik Dinas Sosial Maluku yakni 9.761 KK pengungsi atau 48.455 jiwa masih saja dinyatakan tidak berlaku. Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu menyebutkan bahwa belum ada data valid tentang sisa pengungsi Maluku yang belum ditangani.
Menurut Ralahalu, data 9.761 KK pengungsi yang dimiliki Dinas Sosial Maluku merupakan kumpulan dari data-data pengungsi yang dimasukan kabupaten/kota dan bukannya data valid. “Karena itu, data ini akan divalidasi dan diverifikasi ulang oleh tim sehingga menentukan data yang benar-benar akurat,” kata Ralahalu.
Berdasarkan jumlah pengungsi Maluku yang sudah tertangani sejak tahun 1999 sampai tahun 2006 berjumlah 79.447 KK atau 397.235 jiwa. Periodesasi penanganan pengungsi ini yakni tahun 1999 hingga september 2003 sebanyak 35.862 KK atau 179.310 jiwa, dan September 2003 hingga Desember 2006 sebanyak 43.585 KK atau 217.925 jiwa. Dana yang diperuntukan buat pengungsi Maluku dipastikan lebih dari Rp1 triliun.
Pengungsi Maluku terus merana, seakan menjadi komuditi unggul untuk mendatangkan mega proyek ke Maluku. Entah kemana dana-dana yang tercurah buat pengungsi namun siapa yang menikmatinya. Merana dan terus merana ditengah melimpahnya uang yang seharusnya mereka peroleh sebagai hak dan bentuk pertanggungjawaban negara dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan ini (blasteran elhau)