Memaknai Simbolisasi Zionisme di Ambon
Agresi militer Israel ke Palestina dan Libanon yang mengakibatkan terbunuhnya rakyat sipil tak berdosa sebulan terakhir ini menunjukan rasa kemanusiaan di dunia telah dicabik-cabik. Menyikapi kondisi Timur Tengah sekaligus Kota Ambon terkini yang “marak” dengan simbol-simbol Yahudi di komunitas tertentu, mengingatkan penulis kepada seorang kawan dari Belanda, Sjoerd van Schooneveld, yang berkunjung ke Ambon beberapa bulan lalu.
Satu pertanyaannya dalam percakapan kami berdua, “Kenapa banyak sekali simbol Yahudi di Ambon. Bukankah tidak ada orang Yahudi di sini?” tanya Sjoerd, Program Officer Kerkin Actie Asia Pacifik Desk, sebuah organisasi Gereja Kristen Protestan di Belanda.
Sjoerd mengaku prihatin melihat fenomena tersebut karena secara eksplisit seakan mendukung kekejaman tentara Israel. Dia berkesimpulan awal, kemungkinan itu dipengaruhi situasi konflik bernuansa agama yang pernah melanda Ambon. Tapi sentimen tersebut tidak didukungnya karena menurut dia, konflik Israel-Palestina bukanlah konflik agama tetapi jauh dari itu adalah klaim politik, ekonomi, dan sejarah atas tanah Palestina khususnya kota tua Jerusalem. Korban dari ambisi Israel adalah orang Islam dan juga Kristen Palestina.
“Di Palestina banyak juga orang Kristen dan mereka sama-sama menderita, sama seperti orang Muslim Palestina. Jika simbol-simbol Yahudi di Ambon ini saya ceritakan kepada teman saya yang menjadi pendeta di Palestina, dia pasti akan sedih,” kata Sjoerd ketika itu.
Sama seperti Palestina, demografi penduduk Libanon yang juga diserang Israel terdiri dari multi etnik dan agama. Sistem perpolitikannya didasari perimbangan komposisi sekte dan agama mempengaruhi penjatahan jabatan di pemerintahan, menggambarkan toleransi beragama di negara itu begitu baik. Korban akibat serangan roket dan persenjataan perang milik Israel bukan saja membunuh orang Islam tapi juga orang Kristen Libanon.
Kembali menyimak kutipan percakapan kami, tidak bisa disangkal beberapa sudut kota Ambon memang ditemui grafiti yang mensimbolisasikan “Bintang Daud”, lengkap dengan tulisan Yahudi atau Israel. Simbol-simbol itu bukan saja berupa lukisan dinding atau di paparisa (tempat duduk anak muda Ambon), tapi juga pada mainan kalung, baju, hingga topi. Simbol Yahudi sepertinya menjadi bagian identitas diri sebagian warga Ambon khususnya di komunitas Kristen.
Fenomena ini seakan menggambarkan adanya dimensi solidaritas sosial yang bersifat ikatan emosional. Secara psikologik, orang tertarik pada suatu kelompok karena adanya kesamaan, merasa senasib, adanya kedekatan fisik maupun psikologik, merasa mendapat ancaman dari musuh yang sama, dan motif-motif lain yang bersifat utilitarian, keuntungan bersama dan tujuan bersama.
Muncul pertanyaan Sjoerd, apakah sebagian orang Ambon yang mengidentitaskan dirinya seperti itu memiliki kedekatan emosional dengan Israel? Di Palestina bukan saja orang Islam terbunuh dan terintimidasi, tapi juga saudara-saudara Kristen Palestina mengalami nasib serupa.
Ras dan kultur orang Ambon-Maluku tentu jauh berbeda dengan kaum Yahudi-Israel. Israel berada di Timur Tengah sedangkan Ambon kota provinsi di timur Indonesia. Orang Ambon tidak memiliki kedekatan khusus secara historis maupun religius dengan Yahudi- Israel. Namun image yang terbangun menjustifikasi konflik Israel-Palestina merupakan konflik agama. Tanpa disadari persoalan yang terjadi selain masalah kemanusiaan, seluruh masyarakat Palestina tanpa pandang bulu, sama-sama menjadi korban kebiadaban Israel.
Jutaan orang Palestina terusir dari tanah kelahirannya sejak Yahudi dengan bantuan AS dan Inggris mendirikan Negara Israel. Mereka yang disebut teroris hanya karena berjuang mempertahankan hak hidup dan tanah airnya. Mencari kemerdekaan dan keadilan melawan keserakahan imperialisme baru. Ironisya, kematian ribuan manusia karena kekejaman Israel dan AS lepas dari prasangka bahwa mereka adalah teroris dunia sebenarnya.
Semua peristiwa itu memainkan perannya dalam sejarah panjang Jerusalem. Kota tua penuh pergolakan. Konflik seakan menjadi bagian integral dari politik Timur Tengah khususnya antara Israel dengan negara-negara tetangganya. Jerusalem sangat penting bagi orang Yahudi, Kristen, dan Islam. Jerusalem adalah kota suci bagi agama-agama samawi itu. Misalnya saja umat Kristen, Jerusalem merupakan tempat wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Tanah itu menjadi saksi kelahiran iman.
Bagi umat Islam, perjalanan spritual Muhamad SAW dalam kisah Perjalanan Malam (al-Isra) dan Kenaikan (al-Mi’raj) merupakan transfer kesucian Muhamad dari Mekah ke Jerusalem yakni Isra dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqhsa dan Mi’raj ke langit ketujuh dari Masjid Al Aqhsa.
Sementara umat Yahudi punya keyakinan kuat, tembok ratapan di bagian barat laut dinding kompleks Masjid Al Aqsha adalah tembok luar dari reruntuhan fondasi ketiga Nabi Sulaiman yang dihancurkan tentara Romawi pada 131 Masehi. Umat Yahudi punya tradisi mendatangi tembok ratapan setiap tanggal 9 Agustus versi kalender Hebrew, untuk meratapi kejayaan masa lalu yang hilang. Di kompleks kota lama itu terdapat pula Gereja Al Qiyamah yang memiliki sejarah khusus bagi umat Kristen.
Jerusalem adalah kota sakral bagi ketiga agama Ilahia yang mengklaimnya sebagai kota suci mereka. Tapi kekudusannya justru melahirkan tragedi karena melahirkan konsep yang berbeda secara radikal. Kekisruhan spiritual dan transformasi politik sejak Jerusalem menjadi pusat kota pada masa Raja Daud sampai menjadi basis administratif militer masa Imperium Romawi. Dari kota yang dikuduskan Kristus sampai menjadi pusat spritual yang dimuliakan umat Islam karena menjadi tujuan perjalanan spiritual Muhamad dalam Isra Mi’raj.
Terlepas dari Jerusalem sebagai satu kota untuk tiga iman, sejak awal perjanjian perdamaian konflik Israel-Palestina sudah dikritik Intelektual Kristen Palestina, Edward W. Said. Dia menolak tegas isi perjanjian damai Israel-Palestina “the Israeli-Palestinian Declaration of Principles on Interim Self-Goverment Arrangements” (DOP) yang disponsori AS, sekutu kuat Israel dalam konflik Timur Tengah.
Bagi Edward, DOP sekadar simbolis karena tidak menyentuh persoalan substantif. Sebagai contoh, dalam DOP, Israel tetap diberi kedaulatan mengontrol sumber air, keamanan, hubungan luar negeri, dan kekuasaan veto atas semua hal yang terjadi di wilayah otonomi Palestina.
Seluruh data, dokumen, angka, dan peta yang digunakan dalam negoisasi-negoisasi yang berlangsung dari perjanjian Oslo (Norwegia) hingga Kairo (Mesir), kesemuanya dibuat pihak Israel. Sebaliknya, Palestina tidak mampu menyodorkan satupun informasi yang berbeda dari sumber Israel. “Padahal ini menyangkut tanah kami, tanah bangsa Palestina,” kata Edward.
Sisi negatif proses perdamaian Arab-Israel karena adanya upaya memanipulasi hakekat sejarah konflik Arab-Israel dari pihak yang lebih kuat (AS dan Israel) dengan memanfaatkan kekuatan media, ekonomi, politik, militer, dan ilmu pengetahuan. Dalam realitas politik internasional hanya ada dua negara itu yang merasa memiliki hak monopoli atas kebenaran hokum internasional, sehingga tidak satupun negara yang mampu menghentikan sepak terjang mereka. Berkat dukungan jaringan informasi internasional, mereka dengan mudah memutar-balikkan fakta. Yang benar disalahkan dan salah dibenarkan.
Agresi militer zionis sejak 1948 telah mengakibatkan gelombang eksodus warga Palestina dalam sejarah panjang umat manusia. Mereka dipaksa mengungsi ke Tepi Barat, Jalur Gaza, dan negara tetangganya seperti Libanon, Suriah, dan Jordania. Salah satu isu paling rumit dan sensitif dalam konteks konflik Israel-Palestina sendiri adalah penyelesaian masalah pengungsi Palestina. Masalah ini turut menjadi subtansi dari konflik Arab-Israel. Di lain sisi, misi zionisme adalah mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya.
Israel kerap menolak semua resolusi PBB yang mengarah pada penyelesaian masalah pengungsi Palestina, baik bentuk pengelesaian itu adalah hak kembali atau hak ganti rugi. Israel senantiasa menyatakan tidak bertanggungjawab secara moral, materi, dan politik atas nasib pengungsi Palestina.
Dari semua yang terjadi seharusnya kita bersimpati kepada Palestina yang tersisih dan menjadi warga nomor dua di tanah air mereka. Bukan karena persoalan agama tapi pelanggaran terhadap hak asasi manusia yakni hak untuk hidup dan merdeka. Apa yang terjadi adalah persoalan kemanusiaan yang teraniaya tak berdaya oleh kekuasaan negara agresor.
Penulis mengutip tulisan opini Josef Purnama Widyatmaja berjudul “Kerukunan Agama di Tengah Konflik Timur Tengah” yang dimuat salah satu koran harian di Ambon Sabtu 5 Agustus 2006. Dikatakannya, “Negara Israel proyek Inggris dan Amerika dalam perang dunia kedua tidak ada hubungannya dengan iman Kristen yang mengamalkan ajaran Yesus orang Galilea. Banyak orang Kristen telah menyalahgunakan ayat Alkitab untuk membenarkan kekejaman orang Israel terhadap bangsa Palestina dan Arab. Lebih celaka lagi banyak orang Kristen yang mendapat propaganda dari kaum Kristen Fundamentalis. Mereka menjadi percaya bahwa pembunuhan dan pendudukan tanah Palestina adalah perintah Allah dalam Kitab Suci.”
Paragraf lainnya Josef menulis, “Yesus orang Galilea adalah Yesus yang pro keadilan, membela orang miskin dan merupakan Yesus yang melawan Roman Empire dan memberitakan kedatangan Kerajaan Allah sebagai alternatif dalam Kitab Suci. Yesus adalah korban dari persengkongkolan pemimpin Yahudi (Sanhedrin) dan pemimpin Romawi (Pontius Pilatus), bukan pemimpin Arab dan Palestina.”
Mudah-mudahan apa yang dikuatirkan penulis, Sjoerd atau mungkin Josef, tidak benar adanya. Bahwa kematian ribuan umat manusia di Palestina dan negara-negara Arab lainnya karena kekejaman tentara Israel dibenarkan sebagian dari kita rakyat Indonesia, terutama di Ambon yang memaknai simbol-simbol Yahudi-Israel sebagai identitas dirinya. Tabea!
Catatan:
Ini artikel beta yang pernah dipublish di koran Ambon Ekspres (Ameks) pada rubrik opini. Memang sudah cukup lama, persisnya saat negara zionis Israel menggempur Libanon, tahun 2006 lalu. Tetapi beta harap bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan kita, khususnya memaknai simbol-simbol yahudi "Bintang Daud" yang mudah katong temukan dibeberapa sudut kota Ambon dan beberapa daerah lainnya di Maluku. Semoga bermanfaat!