"Menggali Warisan Ketel Ditanah Bupolo"
Laporan : Evol Saimima
"Merdeka bukan mutlak menjadi jaminan mengambil kembali hak tanah ulayat dari tangan Kolonial. Justru kemerdekaan membuka babak baru bagi masyarakat di negeri Bupolo untuk mempertahankan lahan ketel miyak kayu putih, yang kini telah dikuasai oleh pemerintah daerah"
Lahan ketel minyak kayu putih diatas tanah warisan milik Petuanan Kayeli Di Kabupaten Buru terhampar luas diatas lahan 6.431 Hektar (He). Sejak jaman koloniali Belanda, tanaman minyak kayu putih sudah menjadi komoditi bagi masyarakat di kabupaten itu. Bahkan sudah terjadi perdagangan atas minyak kayu putih saat bangsa ini
berada dibawa kekuasaan kaum penjaja.
Jauh sebelum wilayah itu bebas dari tangan penjajahan, terjadi pembagian lahan ketel minyak kayu putih dari pemilik lahan kepada warga keturunan raja untuk mengelola petuanan. Proses penyerahan lahan ini dilengkapi
dengan surat warisan dan diserahkan kepada masyarakat lokal maupun pendatang di Negeri Bupolo nama lain dari Pulau Buru. Pada jaman Belanda lahan minyak kayu putih ini dikontrakan kepada pedagang yang berasal dari bangsa Tionghoa, seluruh surat asli tanah ini dipegang para pedangang, dengan perjanjian akan membagi hasil
dari pengelolaan minyak tersebut, sementara pemilik lahan hanya memegang surat kontrak.Karena dililit pajak oleh penjaja yang dibebankan kepada pemilik lahan ketel minyak kayu putih, memaksa mereka harus mengadaikan lahan itu kepada warga Tionghoa. Ketidak sanggupan pemilik lahan untuk membayar pajak kepada Belanda dan mengadaikan lahan kepada pedagang Tionghoa meruapakn awal lahirnya masalah sengketa lahan ketel minyak kayu putih di Kabouaten tersebut hingga saat ini.
Setelah bangsa ini merdeka, di tahun 1957 dengan adanya aturan nasionalisasi aset negara, seluruh lahan ketel minyak kayu putih tersebut diambil oleh pemerintah tanpa mengambil surat-surat lahan yang dipegang para pedaggang. Dengan dikuasinya lahan oleh pemerintah maka warga tionghoa yang mengelola lahan ini harus keluar
dari ketel minyak kayu putih itu.
Melihat kebijakan pemerintah mengeluarkan penduduk keturuanan Tionghia ini, Raja Petuanan Lilialy saat itu, mengeluarkan surat keterangan tentang warisan lahan itu. Dalam surat itu juga dijesakan tentang hubungan warga tionghoa dengan ketel yang dimiliki keluarganya.
Pada tahun 1960-an, saat lahan dikuasi oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maluku Tengah (Malteng). Salah seorang diatara tujuh raja di Pulau Buru berhasil duduk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malteng. Saat itu, telah dibuat perjanjian dengan Pemkab Malteng, bahwa lahan minyak kayu putih ini akan dikelola oleh pemerintah selama kurung waktu lima tahun dan kemudian lahan tersebut akan dikembalikan kepada rakyat Buru untuk mengelolanya. Namun kesepakatan penyerahan lahan ini tidak terrealisasi dikembalikan Pemerintah.
Ditahun 1965 saat Parti Komunis Indonesia (PKI) dibubarkan oleh pemerintah, masyarakat pemilik lahan yang masuk partai tersebut ditangkap dan ditahan. Sampai tahun 2000 sebelum Buru dimekarkan menjadi Kota Kabupaten dan terlepas dari Kabupaten Malteng, pemilik lahan yang memiliki surat-surat warisan diijinakn untuk
mengelola lahanya. Dan Raja yang diijinkan saat itu untuk mengelola ketel minyak kayu putih di Buru masing masing Raja Petuanan Lilialy Usman Anu, Umadoratu Ahmad, dan Raja Kuraha.
Perjaungan Rakyat Buru untuk mendapatkan haknya yang kini telah dikuasi pemerintah terus berlanjut, Raja Lilialy dan Kepal Desa Ubung pernah dipanggil menghadap Pejabat Bupatti Buru saat itu dan mempertanyakan atas hak penduduk mengelola kembali lahan itu. Dalam pertemuan itu, mereka menyerahkan surat yang dibuat mertua pejabat Bupatti Buru dan kemudian para pemilik lahan yang mempunyai surat keterangan tersebut dibairkan untuk mengelola lahan.
Pada tahun 1998 sampai tahun 2000, pemilik lahan yang mempuanyai surat keterangan masih mengelola lahan minyak kayu putihnya. Sebelum tahun 2004 lahan ini dikelola oleh Pemkab Maluku Tengah yang mengelolanya adalah CV. Piramid. Saat tahun 2004 lahan ketel resmi diserahkan oleh Pemkab Buru kepada PT Jambu Mete. Setelah diserahkan
perusahan ini kemudian mengerahkan polisi untuk mengusir dan menagkap masyarakat yang dituduh mencuri diatas lahannya sendiri. Namun penahanan kepada pemilik lahan ini, tidak berlangsung lama tindakan perusahan Jambu Meta dan pihak Kepolisian itu sebagai bentuk shock therapy agar pemilik lahan yang lain tidak berani mengelola
lahan ketel minyak kayu putih tersebut.
Melihat tanah warisannya diambil oleh pemerintah, membuat para pemilik lahan, yang berasal dari 14 desa di kabupaten Buru, terpaksa mementukan sikap. Mereka mulai mengadu masalah ini kepada Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM). Pada tahun 2007 lalu, Komnas HAM menerima pengaduan dari masyarakat adat Petuanan Liliay tentang pengambilan lahan milik masyarakat oleh Pemkab Buru diatas 109 lahan ketel minyak kayu putih milik masayarakt.
Setelah menerima pengaduan ini, tepatnya Bulan Juli ditahun itu, Komnas HAM kemudian mengirimkan tim pemantau dan membuat rekomendasi atas kasus sengketa lahan ketel minyak kayu putih antara masyarakat adat petuanan Liliay dengan Pemkab Buru. Lagi-lagi rekomendasi penyelesaian masalah dari Komnas Ham itu tidak pernah dilaksanakan oleh Pemkab Buru.
Sikap pemerintah Buru ini tidak mengurung niat masyarakat untuk terus berjuang memperolah haknya diatas lahan warisan yang sudah menjadi suber hidup sejak turun temurun itu. Masalah tersebut kembali dilaporkan kepada Komnas HAM. Lembaga yang mengadpokasi hak masyarat pemilik ketel minyak kayu putih akhirnya menerima laporan dari masyarakat Buru tentang perluasan lahan transmigrasi oleh pemerintah buru dengan mengambil lahan masyarakat setempat tanpa ganti rugi. Untuk menindak lanjutinya Komnas HAM kembali mengirimkan Tim pemantawauan pada 27 samapi 31 Oktober 2008 lalu. Tujuannya untuk memperoleh informasi, keterangan dan data mengenai perkembangan 109 ketel mintak kayu putih di petuanan Liliay dan upaya
penyelesaian kasusu perluasan perluasan lahan transmigrasi yang mengambil lahan masyarakat. Mandat tugas Komnas Ham berdasarkan Surat Tugas dari Ketua Komnas HAM bernomor 133/WATUA.X/2008 tanggal 15 Oktober tahun 2008, dan surat penugasan No 255/SES.SP/X/2008 tanggal 15 Oktober 2008 bagi asisten atau
staf Komnas HAM.
Setelah Komnas HAM mengantongi surat tugas untuk melakukan pengawasan di Kabupaten Buru terkait sengketa tanah warisan yang dilaporkan masyarakat di wilayah bekas tahanan politik diasingkan ini. Sesuai dengan rencana tim yang dibentuk Komnas HAM ini kemudian berangkat dari Jakarat tepat 27 Oktober 2008 lalu. Setibanya di
Kota Ambon tim itu lalu melanjutkan perjalanannya ke Pulau Buru.
Sesampainya di Pulau Buru, tim yang diketuai Jhony Nelson Simanjuntak ini kemudian melakukan peninjauwan. Proses peninjauwan diawali pertemuan dengan masyarakat di Desa Sapana pada tanggal 28 Oktober 2008 lalu. Dalam Laporan Komnas HAM disebutkan dalam pertemuan tim itu mereka menemukan fakta imperis yang
disampaikan masyarat pemilik ketel minyak kayu putih.
Diantara laporan yang tersirat disebutkan lokasi sengketa di Petuanan Liliay adalah lahan penghasil minyak kayu putih yang telah diolah secara turun temurun secara tradisional, lahan tersebut pernah dokontrakkan masyarakat kepada pedagang Arab dan Cina. Namun Pada tahun 1955 dengan dasar PP No 10 tahun 1959, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maluku Tengah (Malteng) yang masih menaungi wilayah Pulau Buru, berupaya mengambil lahan ketel minyak kayu putih, dengan alasan kewajiban pemerintah untuk menarik seluruh aset dari tengan asing.
Pengembaliahan lahan ini membuat masyarakat pengelola ketel minyak kayuh putih melalui saniri Negeri Liliyali memutuskan untuk tidak mengijinkan pihak manapun mengambil hasil hutan itu sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Saniri Negeri. Namun Pemkab Malteng tetap menggarap lahan sengketa itu dan tidak menyerahkan
kembali kepada masyarakat. Pemkab Malteng mengunakan Perushan Daerah Praja Karya Maluku Tengah untuk mengelola ketel minyak kayu putih ini. Dan setelah Buru dimekarkan pada tahun 2004 lalu, lahan minyak kayu putih ini diserahkan kepada PT. Jambu Mete Wabloi untuk mengelolanya.
Dalam memperolah data yang lebih akurat dan gambaran secara spesifik terkait tanah yang disengketakan ini. Tim Komnas HAM kembali menggelar pertemuan bersama antara tokoh masyarakat Buru Mohammad Kasim Waragan dengan Pemliki lahan ketel minyak kayu putih masing-masing Halah Daud Turaha, Kepala Suku Turaha Hamid Masugi, Pemilik Lahahan Desa Ubung Alih Hadiesi, Umar Tingkapi, Hasal Lahupa dan Petuanan Raja Liliyali Sudirman Bessi.
Dalam pertemuan ini juga ditemukan fakta yang menyebutkan, terdapat 14 desa yang lahan ketel minyak kayu putih disengketakan masing-masing desa Narlosom Sanleka, Siahonim, Lelam, Jiku Marasa, Sawa, Waimiting, Waipera, Lamahan, Waplao, Waepa, Pohon Mangga dan Semalaki. Satu ketel Lahan minyak kayu putih seluas 59 Hektar (He). Jumlah ini jika di sesuaikan dengan 109 ketel maka terdapat 6.431 He lahan ketel minyak kayu putih yang disengkatakan masyarakat di Kabupaten tersebut Salah seorang saksi hidup Ibu Husen yang lahir dijaman Belanda menyatakan, sejak dulu Raja Petuanan Lilialy membagi daerah Raja Petuanan Kayeli. Lahan tersebut kemudian dikontrakkan kepada oleh tuanya kepada pedangang tionghoa . Setelah negara ini merdeka, tanah tersebut diambil oleh pemerintah, dan Ibu Hasan i tidak pernah mengetahuinya lagi. Namun Ibu Hasan meminta bantuan Raja Petuanan Lilialy haknya atas lahan minyak kayu putih tersebut yang telah dikuasai oleh. Lahan minyak katu putih yang dimiliki Ibu Hasan berada di petuanan Pohon Kayu Pinggang.
Awalnya dalam lokasi itu hanya ada perkebunan kayuh putih dan tidak ada pemukiman , pohon kayuh putih yang tumbuh saat ini ditanam oleh para leluhur atau nenek moyang. Untuk mengasapi dapur dan memnuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat berpegang pada hasil penjualan minyak kayuh putih. Seteiap keluarga beras yang memiliki lahan mempercayakan satu orang juru bicara untuk memperjuangkan haknya memperoleh kembali lahan ketel yang disengketakan itu.
Pada tahun 2005 lalu Raja Liliyai, pernah dipanggil oleh Polres Pulau Buru atas laporan PT Jambu Mete, karena disangka mengelola lahan milik Pemkab Buru, namun Raja Liliyali membantah tuduhan tersebut. Setahun kemudian masyarakat pernah mengadukan kasus ini ke DPRD Buru namun pihak dewan meresponinya dengan mengatakan akan berkonsultasi dengan Bupatti Buru Husni Hentihu. Masyarakat setempat pernah melakukan pertemuan dengan Pemkab Buru, saat itu mereka hanya ditemuai oleh Kabag Hukum, Bahkan pertemuan ini juga tidak memperoleh kesepekatan saat itu warga pemilik ketel ini dihimbau untuk menunggu surat dari bupatti untuk menyelesaikannya.
Pada tahun 2007 lalu masyarakat dijanjikan jika selesai pemilian Bupatti Buru maka akan ada penyelesaian kasus sengketa ini. Lagi-lagi Pemkab buru mengingkari janjinya, Bahkan masalah ini pernah di gugat ke Penagdilan namun gugatan tersebut juga ditolak. Dalam memperjuangkan haknya masyarakat sering dilaporkan ke polisi dengan
tuduhan mengarap lahan milik Pemkab Buru.
Salah satu pemilik lahan ketel minyak kayu putih Mahmud Kasim mengharapkan agar upaya Komnas HAM saat ini dapat menghasilkan penyelesaian sengketa ketel minyak kayuh putih ini. Kerana lahan ketel minyak kayu putih milik masyarakat yang kini dikelola Pembak Buru telah menyebabkan masyarakat semakin miskin.
Saat ini Komnas HAM dalam menindaklanjuti upaya yang sudah pernah dilaksanakan sebelumnya dalam mengupayakan penyelesaian kasus ketel ketel minyak kayu putih. Masyarakat diharapkan mampu menunjukan ketel miliknya dan batas dari ketelnya serta yang kasusnya.
Disarankan agar para pengadu bersatu dan menyatakan permintaanya adalah satu sehingga aspirasi tersebut yang dapat dijadikan pegangan Komnas HAM untuk menyelesaikan dengan Pemkab Buru. Pengadu juga memiliki kekhawatirkan lain yaitu Komnas HAM tidak menyelesaikan masalah malah menimbulkan masalah baru misanya
anak pengadu yang melamar jadi PNS ditolak kerena orang tuanya menjadi pengaduan atau memberikan keterangan kepada Komnas HAM. Komnas HAM memahami keinginan para pengadu dan memang bermaksud menyelesaikan kasusu ini, namun diminta juga pengadu memahami bahwa Komnas HAM adalah lembaga yang bertugas untuk
menyelesaikan masyarakat dalam memperjuangkan haknya (***)[b]